Stigma Untuk Sang Sorban

Beberapa orang bergamis panjang, celana cekak, berjenggot lebat, berjidat hitam, dan bersorban; kulihat membentuk forum pengajian kecil di sudut mushola KM Tidar ketika aku hendak sholat ashar.

Dalam sholatku, lamat2 terdengar pembicaraan mereka. Sebenarnya tidak terlalu keras sih, tapi tetap saja terdengar.

Awalnya aku kira pengajian itu pake bahasa arab, karena peserta pengajian rata2 berbadan besar tinggi, dan berwajah arab. Ternyata tidak, mereka pakai bahasa indonesia.

Aku berusaha untuk tidak mendengar pengajian itu dan tetap berkonsentrasi sholat, tapi tetap saja terdengar.


Selesai sholat, aku didatangi oleh salah satu dari mereka. Dia berbasa2i menanyakan kabar dan mengajak untuk bergabung ikut pengajian. Aku hanya menggeleng, beralasan masih ingin berdzikir.

Terus terang aku ragu untuk bergabung. Terlalu banyak jangan2.

Jangan2 mereka akan memaksaku untuk seperti mereka. Jangan2 mereka akan menjeratku. Jangan2 mereka adalah teroris. Jangan2 mereka sedang rekruitmen calon teroris.

Jangan2 hari ini aku terakhir pake celana jins dan kaos oblong. Jangan2 setelah ini aku akan paksa istriku pake cadar. Jangan2 aku tidak bisa lagi ndengerin lagu maroon5, pink ato dewa19. Jangan2 aku akan dikirim ke afghanistan ato filipina selatan.

Atau, jangan2 juga tanpa kusadari aku adalah salah satu simbol kemenangan stigmatisasi atas orang bersorban dan berjenggot seperti itu, bahwa mereka adalah ekstrimis dan teroris.

Dan jangan2 yang lain...

Aku masih ragu untuk ikut bergabung. Jantungku berdegup kencang: dag...dig...dug...

Sambil (pura2) berdzikir aku terus berpikir.

Tiba2 aku tertantang untuk membuktikan bahwa aku bukan termasuk bagian dari stigmatisasi atas orang2 bersurban dan berjenggot.

Aku beranikan diri untuk bergabung. Satu persatu aku salami. Mereka menerimaku dengan sangat ramah.

Beberapa materi pengajian kusimak dengan serius. Sebenarnya bukan materi baru, dan jauh dari ekstrim. Aku sering  mendengarnya, seperti: tidak boleh menghina orang lain, serta tentang setiap orang memiliki tanggung jawab dan setiap penanggungjawab pasti akan dimintai tanggung jawab.

Sepanjang 30 menit aku mengikuti pengajian itu, 100% aku setuju. Tidak ada yang bisa dibantah, semua benar, semua aku terima.

Rasa2nya pengajian itu jauh dari ajaran2 garis keras, apalagi teroris. Mereka hanya sekelompok orang2 islam yang punya standar keimanan dan ekspresi beragama yang berbeda dengan orang2 pada umumnya. Rasa2nya tidak ada yang salah dengan itu.

Ternyata benar, selama ini aku telah menjadi salah satu simbol kemenangan stigmatisasi orang2 bersorban dan berjenggot.

Entah siapa yang memulai, tapi stigma itu kemudian dibenarkan dan diyakini oleh negara2 dan orang2 islam sendiri. Disitulah kemenangan politik stigmatisasi simbol2 islam.

Orang islam kini lebih curiga dengan orang bersorban, daripada dengan orang bertato dan bermuka sangar.

Orang islam kini lebih takut dengan orang berjenggot lebat, daripada orang rambut gimbal dan bertindik di mana2.

Dan sialnya, aku adalah salah satu orang islam itu.

Menilai seseorang, apalagi menuduh, hanya berdasarkan penampilan luar adalah dzolim!

Sama dzolimnya jika aku membiarkan anakku menungguku terlalu lama membawakan air panas untuk membuat susu.

Ya sudahlah. Aku harus pergi ke dek 4 ambil air panas.

Mereka masih mengaji, aku berlalu pergi.


Komentar

Posting Komentar