Slamet...oh...Slamet

Setiap orang tua yg memberikan nama 'slamet' untuk anaknya, tentu berharap anaknya akan selamat dari segala bencana, ujian, rintangan, halangan, dan seterusnya. Itulah orang tua, selalu berharap yg terbaik untuk anaknya.

Begitu juga orang tua Slamet, 45 tahun, sopir pick up yg menabrak truk gandeng di Probolinggo.

Tapi Slamet yang ini benar2 gak slamet. Selain harus tewas mengenaskan, dia dituding sbg penyebab utama 18 orang tewas di jalanan, dan puluhan orang lainnya harus terkapar di rumah sakit. Belum selesai sampai disitu: polisi menetapkan slamet sebagai tersangka dalam kecelakaan maut itu!

Kasihan betul si Slamet, mati dengan status tersangka. Polisi itu, mbok ya kalo udah meninggal gak usah di-tersangka-kan.


Bahkan seorang penjahat pun biasanya akan tetap dikenang kebaikan2nya, jasa2nya, atau perilaku2 baiknya semasa hidupnya. Atau setidak2nya dilupakan keburukan2 si almarhum. Tapi Slamet harus menghadap Illahi dengan status tersangka.

Slamet adalah seorang sopir biasa yg bermaksud baik ingin mengantar para santri untuk melayat seorang kyai. Melayat jelas bukan perbuatan pidana, tapi religius, apalagi yg dilayat adalah seorang kyai.

Sudahlah, jangan dipersoalkan kenapa Slamet mengantar 30 orang menggunakan pickup terbuka, karena itu juga sering dilakukan orang2 di Probolinggo, dan juga kota2 lain di Indonesia. Untuk pengajian, untuk kampanye, untuk nonton bola, untuk tahun baru, untuk mudik, untuk nonton konser dangdut, dan untuk2 yg lain.

Lagian, bisa jadi itu bukan maunya Slamet.

Slamet hanyalah sopir amatir yang apes. Apes karena harus tewas mengenaskan, tapi juga apes karena jadi kambing hitam di akhir hidupnya.

Kalau mau cari2 kesalahan, banyak yg bisa disalahkan. Termasuk polisi. Ya...polisi juga salah!

Begini. Kejadian itu terjadi bukan tengah malam di hutan belantara yg gelap gulita. Itu sore hari, jam 4 sore, di jalan utama yang menghubungkan Bali-Surabaya.

Dihitung dari sejak pertama kali Slamet berangkat hingga titik kejadian, konon, Slamet telah menempuh sejauh 4 km. Dalam perjalanan sejauh 4 km itu Slamet mengangkut 30 orang di pickup terbuka, tapi tidak satu-pun polisi yg menghentikan Slamet.

Ada dua kemungkinan. Pertama, polisi sengaja tidak menghentikan Slamet karena mengangkut penumpang di pickup terbuka sudah dianggap biasa. Kedua, tidak ada satupun polisi yg berdinas di sepanjang jalan yang dilalui Slamet, di jalan utama yang menghubungkan Bali-Surabaya itu. Gak tau pada kemana polisi2 waktu itu.

Tidak penting kemungkinan yang mana benar, karena dua2nya menunjukkan bahwa polisi juga punya andil kesalahan pada kecelakaan itu. Kalo saja ada polisi yang giat dan disiplin menegakkan hukum, mungkin Slamet tidak mati dalam keadaan tersangka!


Komentar