Ahok Menodai Islam?

Sejujurnya, aku tidak tersinggung, apalagi marah, melihat rekaman pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Sampai sekarang-pun, kalo aku putar lagi rekaman itu, tetap sama saja. Biasa saja. Bahkan beberapa kali aku sengaja turunkan standar tersinggungku, tetap aja begitu. Biasa saja.




Eksplisit
Sejauh yg aku dengar, tidak ada kata2 kalimat "Al Maidah 51 itu bohong", "orang islam berbohong pakai Al Maidah 51". Tidak ada juga kalimat "ulama berbohong". Apalagi "Islam itu sesat".

Potongan pidatonya seperti ini: "Kan, bisa saja dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa pilih saya. Karena dibohongin pakai Surat Al-Maidah 51 macem-macem gitu loh. Itu hak Bapak-Ibu, ya...".

Kalimat eksplisit itu sangat multitafsir, karena tidak ada "subyek" yg melakukan "predikat" berbohong. Dengan begitu, siapa yg dimaksud telah berbohong pakai Al Maidah 51? Apakah ulama? Apakah Islam? Apakah semua orang Islam. Atau, ataukah politisi/lawan politik?

Karena multitafsir, tidak ilok kita menafsirkan dengan imajinasi kita sendiri, lalu memvonis Ahok berdasarkan imajinasi kita. Karena multitafsir pula, tidak ilok pula jika menghakimi tanpa mengklarifikasi maksud dan tujuan si pengucap pidato itu.

Implisit
Ketika Ahok berbicara begitu, ia adalah gubernur incumbent yg nyaris pasti akan nyalon lagi. Saat itu, suasana politis sangat pekat terasa bukan saja di Jakarta, tp juga se-Indonesia. Semua manuver yg dilakukan aktor2 politik, selalu dikait2kan dengan konstalasi politik DKI Jakarta.

Ketika berpidato di Kepulauanan Seribu itu, Ahok adalah aktor politik, dan berbicara dalam konteks politik. Ketika itu, Ahok begitu baper terhadap masalah politik yg dihadapinya dalam pilkada DKI Jakarta, bahwa ia tidak hanya cina, tapi juga kafir, sehingga ia mudah sekali mendapat serangan dari lawan2 politiknya.

Dalam konteks itulah, aku menduga, yg dimaksud Ahok telah berbohong pake Al Maidah 51 adalah lawan2 politiknya, yg membabi budek ingin menjegalnya dengan segala cara. Termasuk menggunakan dalil Al Maidah 51. 

Pertanyaan besarnya adalah : benarkah ada aktor/lawan politik yg mengekploitasi Al Maidah 51 untuk sekedar menjegal Ahok, seperti yg dibilang Ahok itu? Itu yg harus dibuktikan Ahok di persidangan nanti. Meskipun itu belum tentu bisa membantu.

Sudah Minta Maaf
Tapi oke-lah kalo omongan Ahok itu ternyata menyakitkan bagi beberapa orang. Karena standar ketersinggungan orang memang berbeza2, wajar kalo ada yg tersinggung dgn omongan Ahok.

Faktanya, Ahok sudah menyampaikan permohonan maaf secara terbuka bahwa ia tidak bermaksud menyakiti umat islam. Tulus atau tidak permohonan maaf itu, hanya tuhan yg tau. Karena hanya tuhan yg tau, baiknya kita berprasangka baik.

Alasan permohonan maaf itu, menurutku, masuk akal. Karena sebagai orang yg sedang membutuhkan suara sebanyak2nya dari warga DKI yg notabene mayoritas islam, mustahil jika ia sengaja ingin menista agama islam di kandang calon pemilihnya.

Dominasi Mayoritas
Jelek2 begini, aku beberapa kali terlibat dalam penelitian kasus2 penodaan agama. Dan, sepanjang yg aku tahu, sedikiittt sekali terdakwa yg bisa lolos dari jerat penodaan agama. Persamaan dari semua perkara2 penodaan agama selama ini adalah ini: "korban"nya (nyaris) selalu Islam, dan adanya desakan massa. Dua2nya ada pada kasus Ahok.

Tidak adanya definisi yang baku apa itu penodaan agama, membuat pasal ini mudah sekali dimainkan oleh kelompok2 mayoritas untuk mengklaim adanya penodaan oleh kelompok minoritas. Baik di lingkungan agama itu sendiri, atau kelompok agama lain. Asal mereka yg mayoritas itu merasa dinodai, maka cukuplah itu disebut sebagai penodaan agama.

Plus, satu yg tidak mungkin tidak ada, adalah desakan massa. Semakin besar desakan itu, semakin efektif. Aksi 411 dan 212 adalah salah satu bagian dari desakan itu. Percayalah, 2 aksi itu akan dijadikan bukti di persidangan bahwa (umat) islam telah dinodai oleh omongan Ahok.

Penodaan Agama
Karena nomenklatur yg digunakan adalah penodaan agama, maka tak ada rujukan lain selain KUHP untuk mendefinisikan apa itu penodaan agama. Pada KUHP-lah standar penodaan agama kita sandarkan. Meskipun, KUHP sesungguhnya juga tidak memberikan parameter yang jelas apa itu penodaan agama.

Dalam KUHP, penodaan agama diatur pada pasal 156a KUHP, yg bunyinya:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”


Meskipun banyak yg bilang itu adalah pasal alternatif, aku tetap meyakini itu adalah pasal kumulatif. Induk kalimat, poin a, dan poin b adalah satu kesatuan yang seluruhnya harus dibuktikan. Kenapa kumulatif, karena ini:
  1. Tidak ada kata "antara lain" pada akhir kalimat induk. Itu artinya poin a dan poin b secara bersama2 adalah kelanjutan induk kalimat.
  2. Disusun dengan format numbering abc, bukan 123. Numbering abc, biasa digunakan pada pengaturan kumulatif.
  3. Poin huruf a diakhiri dengan titik koma (;), itu artinya poin a berlanjut pada poin b.
  4. Poin a dan poin b tidak diawali dengan huruf besar/kapital. Itu artinya, poin a dan poin b bukan kalimat baru yg terpisah, sehingga keduanya adalah satu kesatuan kalimat yang melanjutkan induk kalimat.
  5. Tidak ada kata "atau" pada akhir poin a. Itu menunjukkan, sekali lagi, poin b melanjutkan poin a. Sehingga keduanya adalah kumulatif.
Tapi kenyataannya, pasal itu selalu diperlakukan secara alternatif. Inilah yg membuat terdakwa penodaan agama nyaris mustahil bisa lolos dari dakwaan sang jaksa. Jaksa cukup membuktikan poin a. Caranya? ajukan saja saksi-saksi fakta dan ahli dari kelompok "korban". Selesai. Masuk itu barang.

Selama majelis hakim menganggap itu adalah pasal alternatif, aku yakin, Ahok akan terjerat. Jadi kalo nanti Ahok benar2 terjerat pasal ini, sesungguhnya itu lebih karena faktor tafsiran pasal alternatif ini, bukan karena doa 7 juta orang di lapangan monas dikabulkan.

Sebaliknya, jika majelis hakim menganggap Pasal 156a KUHP adalah pasal kumulatif, aku yakin, Ahok akan bebas. Taruhlah Ahok terbukti melakukan penodaan agama (huruf a Pasal 156a KUHP), Ahok akan mudah membuktikan bahwa ia tidak pernah mengajak atau menganjurkan agar orang2 penyimak pidato itu untuk menjadi seorang atheis (huruf b Pasal 156a KUHP).


Masalahnya adalah, adakah keberanian sang hakim menghadapi tekanan massa yang bertubi2, berbondong2 dan sekonyong2 ? Apalagi, konon, Pasal 156a KUHP ini dibuat oleh rezim Sukarno BUKAN untuk melindungi (kesucian) agama, melainkan sekedar untuk menciptakan ketertiban umum. Daripada ribut2, lebih baik 1 orang dibui. Kira2 begitu. Maka, tak ada jalan lain buat sang hakim kecuali menghukum Ahok, agar Monas tidak terus2an dijadikan tempat jum'atan.

Kepantasan
Dalam konteks kepantasan, aku setuju Ahok telah offside. Offside karena dia pidato politis bukan dalam masa kampanye. Offside karena dia bicara politik di forum masyarakat nelayan. Offside karena dia bicara pake seragam gubernur. Offside karena dia menyinggung Al Qur'an, wilayah sensitif bagi umat Islam.

Banyak memang offside-nya Ahok. Tapi apakah karena offside itu Ahok layak dibui? menurutku sih tidak. Jangankan kartu merah, di sepak bola, pelanggaran offside tidak layak diberi kartu kuning. Cukup tendangan bebas saja.

***

Di luar itu semua, bagiku Ahok punya kelebihan dan kekurangan. Dia adalah tipikal manusia pada umumnya, termasuk manusia muslim, yg tidak mungkin bisa sempurna. Jika status non muslim kita anggap sebagai kekurangan, apakah itu menghapus semua kelebihan yg dia punya? Lalu membuat kita berpikir dia layak diginiin?

*Btw, aku bukan ahokers. Bukan Agus lovers. Juga bukan Anieser. Karena aku Rismais dan Karwois.



Komentar