Punya Kantor Sendiri

Punya kantor sendiri, adalah impian semua pengacara. Sayangnya, tidak semua pengacara berhasil mewujudkan keinginan itu, dan lebih memilih untuk menghabiskan waktunya menjadi bawahan pengacara lain. Sebagian karena persoalan modal, dan sebagian yg lain karena nyali. Tidak sedikit yg karena: keduanya.
.


.
(1) MODAL
.
Aku belum pernah mendengar jasa layanan hukum pengacara masuk dalam kategori UMKM yg bisa mendapat bantuan dan pembinaan seperti layaknya UMKM keripik singkong, abon ikan lele atau ukiran akar bambu. Padahal, secara finansial, banyak pengacara yg tidak lebih baik dari pelaku2 usaha UMKM itu.
.
Kesimpulannya adalah mengharapkan pinjaman modal usaha, meskipun dengan cara "merendahkan diri" sebagai UMKM, adalah muspro, alias sia2. Pengacara telah dikutuk sebagai profesi high risk, yg bahkan untuk sekedar pengajuan kredit HP cina-pun mesti ditolak.
.
Meskipun ini tidak adil, diskriminatif, dan melanggar HAM; belum ada satu-pun pengacara yg berani menggugat ketidaknyamanan ini. Ibarat tukang cukur yg tak bisa memotong rambutnya sendiri, pengacara ternyata juga tak bisa meng-advokasi dirinya sendiri.
.
Solusi klise dari masalah ini adalah buatlah kantor sesederhana mungkin. Cukup pasang papan nama di depan rumah dari triplek bekas, atau cukup print cetak kartu nama lalu dibagi2kan secara random. Kemudian berserah diri dan berharap ada perusahaan besar yg ingin jadi klien.
.
Berharap kan boleh2 saja. Wong, pungguk aja merindukan bulan..
.
Selain modal uang, ada modal bentuk lain yg juga sangat penting bagi pengacara yg ingin buka kantor sendiri, yakni: jam terbang, alias pengalaman. Jam terbang itu misalnya: jam terbang menangani perkara, mendapat dan merawat klien, membangun relasi, dll.
.
Tidak semua pengacara punya modal jam terbang yg mumpuni. Pengacara yg secara umur tergolong senior (baca: tua) belum tentu punya jam terbang lebih tinggi dari pengacara yunior (muda). Meskipun dalam dunia kepengacaraan, yg tua cenderung lebih dipercaya daripada yg muda. Semakin beruban, semakin disegani. 
.
Jam terbang (yg cukup) adalah modal yg penting, sepenting modal uang. Dua2nya saling melengkapi dan menyempurnakan. Semakin tinggi jam kerja, walau bukan jaminan, peluang suksesnya lebih tinggi. Tapi ini tidak boleh jadi alasan untuk mengecilkan ambisi bagi yg masih jam terbang minim, karena jam terbang bisa juga terbentuk sambil berjalannya waktu.
.
(2) NYALI
.
Kendala kedua, adalah nyali. Bagi beberapa pengacara, membangun kantor sendiri itu "mengkuatirkan". Kuatir gak mampu. Kuatir gak PD. Kuatir gak laku. Kuatir rugi. Kuatir bangkrut. Kuatir malu. Kuatir kecewa. Kuatir. Kuatir. Kuatir.
.
Pengidap penyakit kuatir ini banyak diidap oleh pengacara baru, dan terutama, pengacara yg sudah terbiasa jadi bawahan pengacara lain. Bagi mereka ini, hidup dipenuhi rasa kuatir itu mengerikan. Lebiih mengerikan dari teroris bom panci presto, atau hantu kuntilanak yang dipocong. 
.
Ini sifat dasar manusia yg tidak boleh ditertawakan, karena itu normal. Mungkin mereka punya tanggungan rutin yg mesti mereka bayar setiap bulan. Cicilan KPR, misalnya. Sementara mereka tidak punya sekoci lain yg bisa diandalkan. 
.
Beda dengan pengacara yang membangun kantor karena faktor kepepet. Dia tidak punya persoalan dengan nyali. Sedikit pun tidak. Itu karena ia tidak punya alternatif lain. Sehingga membuka kantor sendiri itu adalah keharusan. Tidak bisa tidak. Isunya bukan lagi berani atau tidak berani. Tapi, hidup atau mati. Pengacara yg berada pada kondisi ini, bisa melangkah dengan enteng, tanpa keraguan sedikitpun.
.
Pengacara yang bermasalah dengan nyali harus belajar dari filosofi kepepet ini. Termasuk bagaimana menciptakan (merekayasa?) kondisi kepepet, dan menyiapkan mental untuk menghadapi situasi kepepet. 
.
(3) KEDUANYA
.
Yg paling repot, kalo mengidap dua2nya: modal dan nyali sekaligus. Ini masalah serius, karena yg begini biasanya, dalam angan2 pun sudah merasa gak pantas. Istilahnya, minder sejak dalam pikiran.
.
Aku no comment untuk masalah yg ini, karena (jangan2) aku termasuk yg mengidapnya...

Komentar