Hobi: Saksi Ahli

Ada satu profesi yg sering luput dari perhatian khalayak ramai, padahal profesi itu sering mempengaruhi hitam putihnya fakta. Profesi itu adalah ini: saksi ahli. Profesi itu hanya bisa digeluti oleh akademisi dengan titel panjang, dan kadang gak lazim. Semakin panjang dan gak lazim titelnya, dianggap semakin ahli.
.
Profesi ini sangat menggiurkan secara ekonomi, dan yg paling penting, adalah nyaris tanpa resiko. Meski menggiurkan, jam kerjanya paling2 cuman 1 hingga 2 jam. Maksimal, dan ini suangat jarang, sampai 4 jam.
.
Tidak ada ketentuan tarif yg harus diikuti. Mereka menentukan sendiri tarifnya dengan parameter yg mereka buat sendiri. Tarif sebelumnya, sering menjadi patokan untuk tarif berikutnya. Jika tidak menguntungkan, yg digunakan adalah tarif sebelumnya yg tertinggi. Berharap diskon dari mereka, itu: sulit. Kalo ditawar, mereka akan tersinggung, seolah berkata "emangnya sy penjual sandal". Tapi kalo gak ditawar, kok ya gede banget ya...
.
Kadang mereka digunakan jaksa, kadang juga digunakan terdakwa. Kalo mau jujur, mereka jauh lebih senang digunakan terdakwa, daripada jaksa. Kenapa? faktor D lah.. (D itu makasudnya duit)
.
Menjadi saksi buat jaksa itu adalah tugas, dan sebagai pemanis jam terbang dan CV sebagai ahli pendatang baru. Mereka tetap dapat uang saku, tapi besarnya gak sampai sepersepuluh atao seperseratus kalo dapat dari terdakwa. Sering mereka mengeluh, hanya dapat ucapan terima kasih dari pak jaksa.
.


Sebagai seorang yang mengenyam banyak bangku ilmu, mereka pasti lebih mudah memilah hitam putihnya fakta, tapi mereka akan memilih bermain di wilayah abu2, karena di wilayah abu2 itulah posisi majikannya terdakwa diuntungkan. Keahlian mereka adalah menggali, kalo perlu menciptakan, wilayah abu2 itu. Mudahnya, mereka dibayar untuk itu.
.
Tentu mereka sadar seharusnya mereka obyektif sebagai seorang ahli, tapi maklumilah bahwa susah menjadi obyektif kepada orang yg sudah mengeluarkan uang sebegitu banyak. Apa boleh buat...
.
Institusi perguruan tinggi sebagai institusi para ahli-ahli itu, bersikap seperti penyalur tenaga kerja. Penyalur tenaga kerja masih mending ding, karyawannya dilatih dan kerjanya dikontrol. Kebanyakan perguruan tinggi, tidak begitu. Yg butuh, silahken komunikasi dan negosiasi sendiri. Mau apapun yg diterangkan di pengadilan, benar atau tidak, obyektif atau tendensius, bukan urusan perguruan tinggi. 
.
Tentu masih ada beberapa yg benar2 obyektif. Tapi biasanya yg benar2 obyektif itu malah jarang jadi saksi ahli. Bukannya tidak pernah, tapi mereka selektif. Mereka hanya mau menjadi saksi ahli ketika benar2 dibutuhkan, karena mereka sadar bahwa saksi ahli itu bukan profesi. Apalagi hobi.
.

Komentar