Lekoh...Lekoh...Lekoh...
Sepanjang yang aku
tahu, belum ada padanan kata dalam bahasa Indonesia yang bisa mewakili maksud
dari kata bahasa Jawa (Surabaya?) yakni : “lekoh”.
Lekoh merujuk pada
ekspresi makan yang sangat menikmati karena rasa makanan yang enak. Dari luar, lekoh
dapat dideteksi dengan banyaknya keringat yang mengucur, mulut belepotan nasi,
piring2 kosong berserakan, kepedesan tapi tetep mintah tambah, tangan kanan
kiri terlibat sangat aktif, dikit2 nyruput
minuman dan seterusnya.
Percaya atau tidak, lekoh lebih dapat ditemui di warung-warung pinggir jalan. Karena hanya di warung2 pinggir jalan kita dapat duduk bersila, petangkringan, sembujung, terserah kita. Itu juga mempengaruhi sehingga kita bisa makan dengan lekoh.
Percaya atau tidak, lekoh lebih dapat ditemui di warung-warung pinggir jalan. Karena hanya di warung2 pinggir jalan kita dapat duduk bersila, petangkringan, sembujung, terserah kita. Itu juga mempengaruhi sehingga kita bisa makan dengan lekoh.
Tentu tidak semua
warung2 itu bisa memberikan sensasi makan lekoh,
karena kini banyak warung2 yang hanya sekedar jualan, mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Makanannya memang mungkin terasa enak di lidah, tapi lihatlah
cara mereka berjualan justru membuat perut terasa enek!
Air
Namanya juga di
pinggir jalan, akses air bersih tentu terbatas. Biasanya mereka mengandalkan
air jerigen yang dibawa dari rumah. Sialnya, terkadang mereka membawa hanya
beberapa jerigen saja. Itupun jerigen kecil.
Karena air terbatas,
mereka sangat amat irit dalam menggunakan air. Untuk cuci piring, mereka sudah
menyiapkan dua ember untuk kebutuhan mencuci piring satu hari penuh! Satu untuk
membersihkan, satu untuk membilas.
Karena alasan
penghematan, mereka tidak menggunakan sabun cuci, tapi hanya menyekanya dengan
plastik kresek. Gosok2 sedikit, lalu ublek2
diikit. Itu yang mereka sebut dengan mencuci. Lalu mereka bilas dengan timba
yang satunya lagi. Sudah, begitu saja.
Mungkin karena
alasan penghematan juga, saya tidak pernah melihat mereka cuci tangan mereka.
Cukup dilap dengan kain serbet, yang juga mereka gunakan untuk mengelap piring,
sendok, meja, telenan dan teman2nya.
Saya pernah makan di
warung yang baru saja buka, dan saya melihat serbet yang lusuh, kusut dan
kecoklat2an. Ya! itu serbet yang kemarin! Atau yang seminggu kemarin!! Tidak
pernah dicuci!!!
Minyak Goreng
Sulit menyebut
sesuatu yang mereka gunakan untuk menggoreng dengan sebutan minyak goreng,
karena sudah lebih mirip oli bekas daripada minyak goreng. Orang jawa menyebut
sebagai jelantah, minyak goreng yang
telah digunakan beberapa kali hingga warnanya menjadi hitam pekat. Tapi untuk
kasus ini, mungkin lebih tepat jelantah
yang telah digunakan berkali-kali.
Banyak loh, warung2
yang tidak malu2 lagi menggunakan “minyak goreng” yang seperti itu. Mereka
menempatkan wajannya secara terbuka, sehingga pembeli pun dapat melihat
langsung bagaimana rupa “minyak goreng”. Dan pembeli pun banyak yang
memakluminya.
Saya bukan ahli
kesehatan, tapi dari googling aja kita
bisa tahu kenapa kita dianjurkan untuk tidak makan yg digoreng dengan “minyak
goreng” macam ini.
Meski terkadang di
lidah tetap terasa enak, tapi yang enak belum tentu sehatkan?
Keamanan
Tragedi Afriyani
Susanti di Tugu Tani memberikan inspirasi bahwa standar keamanan makan di
warung2 pinggir jalan harus ditingkatkan. 1000 kemungkinan bisa terjadi di
jalanan, termasuk di pinggir jalan.
Banyak warung2
pinggir jalan yang benar2 terletak di pinggir jalan, hanya berjarak beberapa
senti dari lalu lalang kendaraan, tanpa ada pengaman apapun. Hanya sehelai
spanduk tipis yang melambai-lambai yang membatasi.
Dari sepeda pancal,
motor, mobil, hingga truk berlalu lalang dengan kecepatannya masing-masing. Ada
yang tertib berlalu lintas, namun tak jarang yang main trabas dengan ugal2an.
Mungkin sebagian dari mereka baru saja mengkonsumsi obat2an. Who knows?
Tentu pedagang
warung2 itu tidak pernah memikirkan itu, mungkin karena dia berpikir resiko itu
telah diketahui oleh pembeli.
Selain alasan
keamanan, apa enaknya makan sambil menghirup asap knalpot dari kendaraan2 yang
belum tentu lulus uji emisi gas buang itu?
------
Tentu tidak semua
warung2 pinggir jalan seperti itu, namun tidak semua juga warung2 pinggir jalan
tidak seperti itu. Nyatanya ada beberapa warung2 pinggir jalan yang bersihan
dan tidak benar2 di pinggir jalan.
Yang terbaik tentu
makan di rumah, makan masakan sendiri. Hanya makan masakan sendiri, kita bisa
menjamin masakan telah aman untuk kita konsumsi. Ya! Kita tetap bisa makan lekoh di rumah sendiri.
Ya, kalau memang
terpaksa harus makan di luar, mustilah berhati-hati.
Komentar
Posting Komentar