(Bukan) Tukang Sampah
Selama
perjalanan, dia begitu berisik. Semua dia komentari, dan banyak bertanya.
Terkadang diulang-ulang. Ya, sabar saja...
Tiba di sebuah
jalan, di ujung sana nampak seorang laki-laki tua berbaju kumel bercelana dekil
sedang bersusah payah menarik gerobak berisi penuh sampah-sampah. Dia harus
mengerahkan lebih banyak tenaganya untuk bisa melalui gundukan polisi tidur
yang banyak dipasang oleh warga.
Dari jarak sekitar 500 meter, bau khas sampah telah nyampe di batang hidungku yang tidak mancung ini.
“Ooo itu bebek angsa mama, yang itu bebek angsa bapak. Bebek angsa anak dimana ? Ooo masih tidul dia, di lumahnya...bla...bla...bla...” celoteh anakku yang nampaknya belum menyadari bau itu.
Dari jarak sekitar 500 meter, bau khas sampah telah nyampe di batang hidungku yang tidak mancung ini.
“Ooo itu bebek angsa mama, yang itu bebek angsa bapak. Bebek angsa anak dimana ? Ooo masih tidul dia, di lumahnya...bla...bla...bla...” celoteh anakku yang nampaknya belum menyadari bau itu.
Laki-laki itu
semakin dekat, semakin jelas raut mukanya yang nampak menahan berat menarik
gerobak yang mungkin beratnya 50 atau 100 kilo dengan tanpa alas kaki, tanpa
sarung tangan, tanpa penutup hidung.
Hanya lalat-lalat
hijau yang setia menemani laki-laki itu.
Di bagian bawah
nampak menetes rembesan air berwarna keruh, mungkin dari makanan basi. Atau
rembesan dari pembalut wanita bekas. Atau dari bangkai tikus. Entahlah, yang jelas
baunya memang luar biasa!
Aku hanya bisa
menarik anakku agar berjalan lebih cepat, agar tidak terus berkomentar. Mudah2an
laki-laki itu tidak mendengar celetukan
itu.
Tapi rasa-rasanya
laki-laki itu mendengar, dan mungkin dia sudah sering dan terbiasa mendengar
celetukan dan perlakuan yang tidak enak.
Ketika laki2 itu mulai
melintasi sebuah perkampungan, setiap orang yang terlintas refleks menutup
hidung. Sebagian menggerutu, menggumam “uwweekkk
busuk!!”, bahkan sampai muntah.
Tidak ada satu
pun yang menyapa, apalagi menanyakan kabar.
Ketika muatan
telah sangat penuh, dan laki-laki itu mulai merasa payah melalui gundukan
polisi tidur, tidak ada juga yang membantu karena jijik.
Tapi ketika
sehari saja laki-laki itu terlambat mengambil sampah, beribu komentar dan
prasangka ditujukan laki-laki itu. Malas-lah, gak niat-lah, cari obyekan
lain-lah, nuntut honor lebih-lah, dan lain-lain.
Nyaris tidak ada
yang berprasangka mungkin laki-laki itu sedang sakit. Mungkin sakit perutnya,
mungkin kakinya kena beling, mungkin asmanya kumat, atau yang lainnya.
“Sandy, kalau ada tukang sampah tidak boleh
ngomong begitu” kataku
setelah agak jauh dari laki-laki itu.
“napa?” anakku balik tanya.
Nah, ini yang aku maksud... |
“Laki-laki itu adalah orang yang terhormat. Banyak
orang merasa lebih terhormat menjadi pengemis, daripada menjadi tukang sampah."
"Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi penjilat daripada menjadi tukang sampah"
"Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi tukang pungut duit rakyat daripada pungutin sampah”
"Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi penjilat daripada menjadi tukang sampah"
"Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi tukang pungut duit rakyat daripada pungutin sampah”
“Laki-laki itu bekerja tanpa pernah mengeluh
sebusuk apapun sampah yang kita buang”
“Laki-laki itu juga tidak pernah marah ketika
banyak orang merendahkannya, meski ia tidak pernah minta untuk dihormati”
“Laki-laki itu juga tidak pernah protes kenapa dia
disebut sebagai tukang sampah, padahal pekerjaannya adalah membersihkan sampah”
Ya, aku rasa dia
belum bisa mengerti jawaban itu.
“Pokoknya tidak boleh” jawabku sekenanya.
“Ote...ote...” jawab anakku.
Aku anggap dia sudah
mengerti.