Alasan Sakit
Aku dulu punya klien, sebut saja: pak Aris. Ia ada penjual pigura kayu, yang buka toko (sekaligus workshop) di jalan raya sengkaling, kiri jalan dari arah Malang.
Ia terkena masalah yang pelik. Mobil pick up yg dikendarainya dgn pelan tiba2 ditabrak motor dari arah berlawanan dgn kecepatan tinggi di jalanan yg licin karena hujan. Akibatnya: mobil Pak Aris pesok gak karuan. Yang menabrak, meninggal di tempat. Untungnya Pak Aris tidak kenapa-napa.
Dgn gagah berani, ia antar korban ke rumah sakit dan menghubungi keluarga korban. Ia tetap meminta maaf, meski merasa tak bersalah. Keluarga korban pun memaafkan Pak Aris. Malah, keluarga korban juga minta maaf karena anaknya yang menabrak. Ini musibah.
Ia terkena masalah yang pelik. Mobil pick up yg dikendarainya dgn pelan tiba2 ditabrak motor dari arah berlawanan dgn kecepatan tinggi di jalanan yg licin karena hujan. Akibatnya: mobil Pak Aris pesok gak karuan. Yang menabrak, meninggal di tempat. Untungnya Pak Aris tidak kenapa-napa.
Dgn gagah berani, ia antar korban ke rumah sakit dan menghubungi keluarga korban. Ia tetap meminta maaf, meski merasa tak bersalah. Keluarga korban pun memaafkan Pak Aris. Malah, keluarga korban juga minta maaf karena anaknya yang menabrak. Ini musibah.
Masalah yg paling pelik muncul justru beberapa hari setelah kecelakaan itu: pak Aris dijadikan tersangka. Tuduhannya: kelalaian yg mengakibatkan matinya orang.
Dia tidak bisa memahami tuduhan itu. Tepatnya, tidak bisa menerima tuduhan itu. Yang paling dia tidak bisa terima adalah, dia dipermainkan oleh oknum jaksa yg menangani perkara itu. Tapi ia tak bisa berbuat apa2. Ancaman akan segera ditahan terus diungkit2.
Berkali2 dia dipanggil di kantor kejaksaan untuk pemeriksaan2 yg gak habis2. Hingga pada suatu titik, ketahuanlah maksud bu jaksa itu memanggil2 begitu. Yaitu, apalagi kalau bukan: uang.
Jelas dia stres. Istrinya, apalagi. Anaknya masih kecil jadi kurang terurus. Toko piguranya juga harus sering tutup. Karena toko sering tutup, pemasukan jadi berkurang, padahal pengeluaran terus bertambah. Pada posisi itulah, aku ketemu dgn pak Aris. Saranku simpel saja: lakukan saja perlawanan.
Ia turuti saranku. Ia mulai membangkang panggilan2 dari bu jaksa. Terutama yg tak jelas tujuannya dan caranya. Dia mulai terlatih mencari alasan untuk tak mendatanginya, meskipun aku tahu, ada perasaan dag dig dug. Apalagi istrinya. Tidak semua orang mampu melawan aparat. Aku maklum.
Ada satu yg aku salut dari sosok pak Aris. Sejengkel apapun dia dengan bu jaksa, dia tidak pernah mau menggunakan alasan sakit untuk mangkir dari panggilan bu jaksa. Benar2 tidak mau. Istrinya, apalagi.
Harus cari alasan lain selain sakit. Padahal, menurutku, alasan sakit adalah alasan yg paling mudah dilakukan, paling mujarab, dan paling populer. Tapi dia, apalagi istrinya, tetap tidak mau alasan sakit. Bagi mereka, masalah ini sama sekali tidak sebanding dgn nikmat kesehatan.
Alasannya sederhana. Sehat itu adalah rejeki yg harus, sekali lagi pake capslock dan bold: HARUS, disyukuri. Salah satu bentuk syukur adalah dgn tidak mempermainkan kondisi kesehatan untuk alasan apapun, karena ucapan adalah doa. Dia kuatir, jika bukan bukan mereka yg terkena sakit, bisa keluarga yg sakit. Anak. Orang tua. Saudara. Naudzubillah min dzalik, katanya.
Komentar
Posting Komentar