Sejak Kapan Mencintai? /Pertama Kenal/1
Pertanyaan menyulitkan yang beberapa kali ditanyakan istriku adalah: sejak kapan aku jatuh cinta kepadanya. Deng..deng..
.
Aku terkejut dia bertanya seperti itu. Aku mengira dia hanya bercanda. Lagian, aku kira pertanyaan seperti itu tak lagi relevan dipertanyakan. Selain sudah ada Sandy, tantangan rumah tangga sudah semakin kompleks. Kredit, hutang, renovasi rumah, pekerjaan, sekolah, orang tua, keluarga, dll.
.
Tapi ternyata menurut dia itu tidak sepele. "Itu penting" katanya. Dia penasaran sekali mendengar jawabanku.
.
Aku tak langsung bisa menjawabnya. Aku harus berpikir keras. Selain karena tak siap menerima pertanyaan itu, aku perlu perlu waktu untuk mengingatnya.
.
1. Pertama Kenal
.
Sepanjang yang aku ingat, dia termasuk teman kuliah yang pertama aku kenal. Bukan yang paling pertama sih. Mungkin kedua. Atau mungkin yang ketiga. Tapi tak sampai yang kelima lah. Dengan gaya bicara dan penampilannya yang seperti itu, dia adalah tipikal mahasiswa yg eye catching. Tak sulit untuk bisa mengenalnya.
.
Secara fisik, waktu itu, dia memang unik dan beda. Rambut keriting, bibir merah darah, kulit gelap, logat Indonesia timur, dan suara keras. Banyak yang mengira dia orang Papua. Aku juga mengira begitu.
.
Sampai di situ, tidak ada sedikitpun firasat dia adalah perempuan yang kelak akan jadi mempelaiku dan menantu orang tuaku. Tidak ada. Benar2 tidak ada.
.
Proses saling mengenalnya sangat biasa. Tidak ada adegan slow motion, saling bertabrakan, buku terjatuh, saling menatap, rambut tertiup angin, lalu saling tersenyum dan berkenalan, sambil diiringi lagu Akad.
.
"... Bila nanti saatnya t'lah tiba... Kuingin kau menjadi istriku... Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan... Berlarian kesana-kemari dan tertawa..."
.
Tidak ada itu. Kalau-pun dibikinkan film, kira-kira gambarnya jadi hitam putih tanpa suara.
.
Aku tahu namanya, karena kudengar teman2 memanggil namanya. Aku tahu nama lengkapnya dari lembar absen. Namanya paling panjang, paling indigenous, dan paling bawah di lembar absen. Wa Ode Sitti Adriani.
.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, dia mengedarkan buku di kelas untuk diisi biodata teman2 sekelas. Ku lihat teman2 lain sudah mengisinya. Aku sempat membacanya beberapa. "Aneh2 aja nih anak papua", pikirku, "pakai harus nulis2 beginian".
.
Kuisi buku itu dgn perasaan biasa saja. Beberapa aku isi, beberapa yg lain aku biarkan kosong. Salah satu yg tidak kuiisi adalah alamat. Bukannya apa, waktu itu aku belum punya rumah kos. Aku tinggal di rumah Bu Dhe ku. Aku gak hafal alamatnya.
.
Pertama kali ngobrol dengannya terjadi di depan kelas, lantai 3, ruang 3.4. Awal2 semester 1. Aku tidak ingat ngobrolin apa. Ngobrol biasa. Tidak lama. Biasa saja. Tidak berkesan. Tapi sejak itu, aku mulai sering ngobrol dengannya. Tepatnya, bercanda. Sepanjang yang aku ingat, tak pernah ada pembicaraan serius dengannya. Selalu bercanda. Guyon. Saling mengejek. Saling menghina. Saling menjatuhkan. Saling tertawa. Terbahak2. Kemekel. Tidak ada marah, atau dendam.
.
Materi ejekan yg paling sering adalah: warna kulit. Meskipun sama2 hitam, tapi sama2 menggunakan materi ejekan yg sama. Begitu terus, sampai teman yang lain juga ikut2an mengejek dengan materi yg sama.
.
Meskipun saling ejek, tanpa kusadari kuhabiskan waktuku selalu dengan dia. Di kelas. Di kampus. Di kantin. Sepanjang kuliah, maupun setelah kuliah. Juga sebelum kuliah. Tidak selalu hanya berdua, tapi selalu ada dia dimanapun aku berada.
.
Pada suatu hari, menjelang lebaran, aku dengar dia diajak temannya pergi ke Madura. Bukan di bangkalan, tapi sumenep. Madura yang paling ujung timur. Naik bis. Aku tahu dia tidak bisa naik mobil, apalagi bis. Tapi dia tetap berangkat.
.
Beberapa hari setelah lebaran, siang-siang, kebetulan aku lagi di rumah surabaya, ada telpon masuk. Telpon rumah. Waktu itu belum jamannya hp, apalagi whatsapp. 0317343331. Sepertinya aku pernah kasih nomor itu di buku biodatanya. Ternyata dia simpan nomor telpon itu. Ada gunanya juga buku itu.
.
"Halo, siapa ini?" tanyaku.
.
"Halo" jawabnya di ujung sana. Dari suaranya yg cempreng, langsung kutau itu dia.
.
"Sa minta tolong dan. Ko jemput saya naik motor di pelabuhan e" langsung tanpa basa2i.
.
"Saya tidak tau di mana pelabuhan" jawabku.
.
"Ko jemput di JMP paleng" lagi2 tanpa basa2i.
.
"Emang kamu ini di mana sih?" tanyaku.
.
"Aku di madura. Aku mabuk. Aku gak kuat naik mobil ke malang" katanya.
.
Aku tidak ingat itu tanggal berapa, tahun berapa, tapi aku ingat itu hari jumat. Kupergi ke JMP dengan membawa helm 2. Siang yang panas. Terik sekali. Aku singgah di masjid Kemayoran untuk jumatan.
.
Sesampainya di JMP, kulihat dia sudah menunggu di pintu masuk JMP dengan wajah kumal dan mengkilap. Dia bersyukur sekali aku menjemputnya. Tak sanggup dia melanjutkan perjalanan ke Malang naik bis.
.
Pertanyaan besarnya, kubawa kemana anak ini? Aku baru bisa ke malang besok pagi. Tak mungkin kuajak menginap di rumahku.
.
"Tidak enak sama tetangga" kataku.
.
"Sa menginap di rumah tetanggamu sj paleng" katanya enteng.
.
Aku bingung. Dia sih pasrah saja dibawa kemana aja. Sambil mengulur waktu, ku bawa jalan2 keliling surabaya. Sempat kupamerkan sekolahku, yg SMA favorit itu. Eh, katanya biasa saja. Masih bagus sekolahannya katanya. Menjengkelkan betul orang ini. Tidak tau terima kasih. Puji dikit2 kan bisa.
.
Tak juga mendapat ide, aku singgah di Balai Pemuda untuk istirahat dan makan nasi goreng. Masih tak tau di bawa kemana si bocah ini. Akhirnya aku menyerah, dan tak punya pilihan lain. Kubawa dia ke rumah nenekku, di Balongsari. Paling tidak, tidak akan ada omongan dari tetangga.
.
Jadilah dia menginap di rumah nenekku malam itu. Subuh, jam setengah lima kujemput dia, lalu pergi ke Malang. Naik motor. Boncengan. Berdua. Itu adalah perjalan panjang pertamaku dengan dia.
.
|| selanjutnya
.
Aku terkejut dia bertanya seperti itu. Aku mengira dia hanya bercanda. Lagian, aku kira pertanyaan seperti itu tak lagi relevan dipertanyakan. Selain sudah ada Sandy, tantangan rumah tangga sudah semakin kompleks. Kredit, hutang, renovasi rumah, pekerjaan, sekolah, orang tua, keluarga, dll.
.
Tapi ternyata menurut dia itu tidak sepele. "Itu penting" katanya. Dia penasaran sekali mendengar jawabanku.
.
Aku tak langsung bisa menjawabnya. Aku harus berpikir keras. Selain karena tak siap menerima pertanyaan itu, aku perlu perlu waktu untuk mengingatnya.
.
1. Pertama Kenal
.
Sepanjang yang aku ingat, dia termasuk teman kuliah yang pertama aku kenal. Bukan yang paling pertama sih. Mungkin kedua. Atau mungkin yang ketiga. Tapi tak sampai yang kelima lah. Dengan gaya bicara dan penampilannya yang seperti itu, dia adalah tipikal mahasiswa yg eye catching. Tak sulit untuk bisa mengenalnya.
.
Secara fisik, waktu itu, dia memang unik dan beda. Rambut keriting, bibir merah darah, kulit gelap, logat Indonesia timur, dan suara keras. Banyak yang mengira dia orang Papua. Aku juga mengira begitu.
.
Sampai di situ, tidak ada sedikitpun firasat dia adalah perempuan yang kelak akan jadi mempelaiku dan menantu orang tuaku. Tidak ada. Benar2 tidak ada.
.
Proses saling mengenalnya sangat biasa. Tidak ada adegan slow motion, saling bertabrakan, buku terjatuh, saling menatap, rambut tertiup angin, lalu saling tersenyum dan berkenalan, sambil diiringi lagu Akad.
.
"... Bila nanti saatnya t'lah tiba... Kuingin kau menjadi istriku... Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan... Berlarian kesana-kemari dan tertawa..."
.
Tidak ada itu. Kalau-pun dibikinkan film, kira-kira gambarnya jadi hitam putih tanpa suara.
.
Aku tahu namanya, karena kudengar teman2 memanggil namanya. Aku tahu nama lengkapnya dari lembar absen. Namanya paling panjang, paling indigenous, dan paling bawah di lembar absen. Wa Ode Sitti Adriani.
.
Tidak ada angin, tidak ada hujan, dia mengedarkan buku di kelas untuk diisi biodata teman2 sekelas. Ku lihat teman2 lain sudah mengisinya. Aku sempat membacanya beberapa. "Aneh2 aja nih anak papua", pikirku, "pakai harus nulis2 beginian".
.
Kuisi buku itu dgn perasaan biasa saja. Beberapa aku isi, beberapa yg lain aku biarkan kosong. Salah satu yg tidak kuiisi adalah alamat. Bukannya apa, waktu itu aku belum punya rumah kos. Aku tinggal di rumah Bu Dhe ku. Aku gak hafal alamatnya.
.
Pertama kali ngobrol dengannya terjadi di depan kelas, lantai 3, ruang 3.4. Awal2 semester 1. Aku tidak ingat ngobrolin apa. Ngobrol biasa. Tidak lama. Biasa saja. Tidak berkesan. Tapi sejak itu, aku mulai sering ngobrol dengannya. Tepatnya, bercanda. Sepanjang yang aku ingat, tak pernah ada pembicaraan serius dengannya. Selalu bercanda. Guyon. Saling mengejek. Saling menghina. Saling menjatuhkan. Saling tertawa. Terbahak2. Kemekel. Tidak ada marah, atau dendam.
.
Materi ejekan yg paling sering adalah: warna kulit. Meskipun sama2 hitam, tapi sama2 menggunakan materi ejekan yg sama. Begitu terus, sampai teman yang lain juga ikut2an mengejek dengan materi yg sama.
.
Meskipun saling ejek, tanpa kusadari kuhabiskan waktuku selalu dengan dia. Di kelas. Di kampus. Di kantin. Sepanjang kuliah, maupun setelah kuliah. Juga sebelum kuliah. Tidak selalu hanya berdua, tapi selalu ada dia dimanapun aku berada.
.
Pada suatu hari, menjelang lebaran, aku dengar dia diajak temannya pergi ke Madura. Bukan di bangkalan, tapi sumenep. Madura yang paling ujung timur. Naik bis. Aku tahu dia tidak bisa naik mobil, apalagi bis. Tapi dia tetap berangkat.
.
Beberapa hari setelah lebaran, siang-siang, kebetulan aku lagi di rumah surabaya, ada telpon masuk. Telpon rumah. Waktu itu belum jamannya hp, apalagi whatsapp. 0317343331. Sepertinya aku pernah kasih nomor itu di buku biodatanya. Ternyata dia simpan nomor telpon itu. Ada gunanya juga buku itu.
.
"Halo, siapa ini?" tanyaku.
.
"Halo" jawabnya di ujung sana. Dari suaranya yg cempreng, langsung kutau itu dia.
.
"Sa minta tolong dan. Ko jemput saya naik motor di pelabuhan e" langsung tanpa basa2i.
.
"Saya tidak tau di mana pelabuhan" jawabku.
.
"Ko jemput di JMP paleng" lagi2 tanpa basa2i.
.
"Emang kamu ini di mana sih?" tanyaku.
.
"Aku di madura. Aku mabuk. Aku gak kuat naik mobil ke malang" katanya.
.
Aku tidak ingat itu tanggal berapa, tahun berapa, tapi aku ingat itu hari jumat. Kupergi ke JMP dengan membawa helm 2. Siang yang panas. Terik sekali. Aku singgah di masjid Kemayoran untuk jumatan.
.
Sesampainya di JMP, kulihat dia sudah menunggu di pintu masuk JMP dengan wajah kumal dan mengkilap. Dia bersyukur sekali aku menjemputnya. Tak sanggup dia melanjutkan perjalanan ke Malang naik bis.
.
Pertanyaan besarnya, kubawa kemana anak ini? Aku baru bisa ke malang besok pagi. Tak mungkin kuajak menginap di rumahku.
.
"Tidak enak sama tetangga" kataku.
.
"Sa menginap di rumah tetanggamu sj paleng" katanya enteng.
.
Aku bingung. Dia sih pasrah saja dibawa kemana aja. Sambil mengulur waktu, ku bawa jalan2 keliling surabaya. Sempat kupamerkan sekolahku, yg SMA favorit itu. Eh, katanya biasa saja. Masih bagus sekolahannya katanya. Menjengkelkan betul orang ini. Tidak tau terima kasih. Puji dikit2 kan bisa.
.
Tak juga mendapat ide, aku singgah di Balai Pemuda untuk istirahat dan makan nasi goreng. Masih tak tau di bawa kemana si bocah ini. Akhirnya aku menyerah, dan tak punya pilihan lain. Kubawa dia ke rumah nenekku, di Balongsari. Paling tidak, tidak akan ada omongan dari tetangga.
.
Jadilah dia menginap di rumah nenekku malam itu. Subuh, jam setengah lima kujemput dia, lalu pergi ke Malang. Naik motor. Boncengan. Berdua. Itu adalah perjalan panjang pertamaku dengan dia.
.
|| selanjutnya
Komentar
Posting Komentar