Kancing Politik
Ketika desas2us Mahfud MD (MMD) ditunjuk sebagai cawapres, aku langsung girang dan bersemangat. Sepertinya tahun 2019 aku (akhirnya) akan mencoblos salah satu pasangan capres-cawapres dengan sadar, tidak seperti pemilu2 sebelumnya. Pada pemilu 2014 aku serahkan hak politikku sebagai kado ulang tahun istriku: 8 Juli.
.
Dalam pantauanku, MMD adalah salah satu dari sedikit tokoh di Indonesia yg benar2 layak dikagumi. Pendapat2nya selalu cespleng, bisa dicerna tanpa harus dikunyah berkali2. Intonasinya jelas. Artikulasinya clear. Rekam jejaknya mewah.
.
Jika tidak memungkinkan jadi presiden, MMD setidaknya sangat layak jadi wakilnya.
.
Meskipun menurutku Jokowi tetap bukan capres yg ideal, tp jika cawapresnya MMD, fix, 2019 aku akan coblos Jokowi. Dengan kesadaran. Dengan lapang dada. Meski pemilu dilakukan tanggal 8 Juli sekalipun.
.
Tapi begitu dengar MMD batal ditunjuk jadi cawapres, aku langsung ilfil. Lemes. Apatis. Apalagi setelah akhirnya Jokowi memilih KH Makruf Amin (KMA) sebagai cawapresnya.
.
Tidak banyak referensiku tentang KMA, kecuali profilnya sebagai seorang ulama. Sebagai cawapres, dia terlalu ulama. Aku tidak setuju ulama dijadikan pemimpin pemerintahan. Pekerjaan wapres terlalu teknis untuk seorang ulama. Perjuangan menuju kursi wapres, pasti akan sangat politis. Memenangkan kelompoknya, sambil mengalahkan bahkan menjatuhkan kelompok lainnya. Ulama tidak layak berpolitik seperti itu. Ulama harus selalu melakukan politik umat, bukan politik praktis. Yang sempit dan yang tendensius.
.
Aku yakin pilihan Jokowi kepada KMA bukan karena kapasitasnya, tp lebih pada profil KMA sebagai ulama. Profil itu dibutuhkan untuk menghadapi pertandingan politik yg akhir2 ini diliputi sentimen2 agama. Tanpa itu, prreett, aku yakin KMA tidak akan dipilih Jokowi (dan koalisinya). Dilirik pun tidak.
.
Setidaknya 5 tahun terakhir, isu agama terlalu digoreng untuk kepentingan politik praktis. Setidaknya sejak pilkada DKI. Dukung mendukung, selalu dengan embel2 agama. Agama selalu dipolitisasi. Kata2 "ulama" dan "umat" terlalu sering digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan. Setelah pihak sana begitu asyik menggoreng sentimen agama, kini giliran pihak situ ternyata juga pake cara yg sama. Kelakuane podo ae..
.
Sekarang, dua2nya sudah menetapkan wakilnya. Meskipun keempatnya adalah orang yg baik, mereka bukan figur terbaik. Juga bukan komposisi pasangan yg pas. Tidak memuaskan. Tapi itulah yg akhirnya tersedia. Atau yang disediakan untuk dipilih.
.
Sulit untuk memilih salah satu dari mereka. Bukan karena dua2nya ideal, tp dua2nya tidak ideal. Tapi golput juga tidak ada gunanya. Salah satu dari mereka akan tetap memenangkan pemilu.
.
Dalam kondisi seperti itu, momen2 detik terakhir akan bisa sangat menentukan pada siapa ujung paku kucobloskan. Bonda-bandi kancing baju, misalnya.
.
Mudah2an di hari H aku tak tergoda untuk pake kaos. Yang tak berkancing itu.
.
.
Dalam pantauanku, MMD adalah salah satu dari sedikit tokoh di Indonesia yg benar2 layak dikagumi. Pendapat2nya selalu cespleng, bisa dicerna tanpa harus dikunyah berkali2. Intonasinya jelas. Artikulasinya clear. Rekam jejaknya mewah.
.
Jika tidak memungkinkan jadi presiden, MMD setidaknya sangat layak jadi wakilnya.
.
Meskipun menurutku Jokowi tetap bukan capres yg ideal, tp jika cawapresnya MMD, fix, 2019 aku akan coblos Jokowi. Dengan kesadaran. Dengan lapang dada. Meski pemilu dilakukan tanggal 8 Juli sekalipun.
.
Tapi begitu dengar MMD batal ditunjuk jadi cawapres, aku langsung ilfil. Lemes. Apatis. Apalagi setelah akhirnya Jokowi memilih KH Makruf Amin (KMA) sebagai cawapresnya.
.
Tidak banyak referensiku tentang KMA, kecuali profilnya sebagai seorang ulama. Sebagai cawapres, dia terlalu ulama. Aku tidak setuju ulama dijadikan pemimpin pemerintahan. Pekerjaan wapres terlalu teknis untuk seorang ulama. Perjuangan menuju kursi wapres, pasti akan sangat politis. Memenangkan kelompoknya, sambil mengalahkan bahkan menjatuhkan kelompok lainnya. Ulama tidak layak berpolitik seperti itu. Ulama harus selalu melakukan politik umat, bukan politik praktis. Yang sempit dan yang tendensius.
.
Aku yakin pilihan Jokowi kepada KMA bukan karena kapasitasnya, tp lebih pada profil KMA sebagai ulama. Profil itu dibutuhkan untuk menghadapi pertandingan politik yg akhir2 ini diliputi sentimen2 agama. Tanpa itu, prreett, aku yakin KMA tidak akan dipilih Jokowi (dan koalisinya). Dilirik pun tidak.
.
Setidaknya 5 tahun terakhir, isu agama terlalu digoreng untuk kepentingan politik praktis. Setidaknya sejak pilkada DKI. Dukung mendukung, selalu dengan embel2 agama. Agama selalu dipolitisasi. Kata2 "ulama" dan "umat" terlalu sering digunakan untuk kepentingan politik kekuasaan. Setelah pihak sana begitu asyik menggoreng sentimen agama, kini giliran pihak situ ternyata juga pake cara yg sama. Kelakuane podo ae..
.
Sekarang, dua2nya sudah menetapkan wakilnya. Meskipun keempatnya adalah orang yg baik, mereka bukan figur terbaik. Juga bukan komposisi pasangan yg pas. Tidak memuaskan. Tapi itulah yg akhirnya tersedia. Atau yang disediakan untuk dipilih.
.
Sulit untuk memilih salah satu dari mereka. Bukan karena dua2nya ideal, tp dua2nya tidak ideal. Tapi golput juga tidak ada gunanya. Salah satu dari mereka akan tetap memenangkan pemilu.
.
Dalam kondisi seperti itu, momen2 detik terakhir akan bisa sangat menentukan pada siapa ujung paku kucobloskan. Bonda-bandi kancing baju, misalnya.
.
Mudah2an di hari H aku tak tergoda untuk pake kaos. Yang tak berkancing itu.
.
Komentar
Posting Komentar