Datang Setelah 11 Tahun
Dulu, kecemasanku hanya muncul ketika menjelang kelahiran. Ketika dia sudah merasakan kontraksi. Di ruang persalinan. Ketika dia berjuang berpeluh melahirkan (anak pertama). Aku persis disampingnya. Di situlah puncak kecemasanku. Saat itu.
Sebelas tahun kemudian, ketika dia hamil lagi, aku bahkan sudah merasakan kecemasan ketika usia kehamilan masih 3 bulan. Tiba2 aku merasa kuatir. Tentang dia, juga tentang bayi yg akan dilahirkan.
Jika sebelas tahun yg lalu dia harus berpeluh2 begitu heboh ketika melahirkan, bagaimana nanti, ketika usia tak lagi muda. Tua banget sih belum, tapi seluruh informasi medis menyebutkan usia segitu termasuk usia yg rawan untuk melahirkan. Meski aku tau, ada banyak perempuan yg sukses melahirkan ketika usianya jauh lebih tua dari usia istriku. Mertuaku, misalnya. Tapi rasa was2 tetap terngiang2. Bagaimana jika dia dan bayinya kenapa2.
Selalu aku berdoa untuk istriku agar diberi kekuatan dan kemudahan dalam persalinan. Juga kesehatan dan perlindungan untuk sang bayi. Dalam kecemasan itu, waktu terus berjalan, tak peduli aku siap atau tidak. Persalinan yg ditunggu2 itu pun semakin mendekat, dan terus mendekat.
Sesuai dengan perhitungan HPL dari dokter, tanggal 27 Juli diperkirakan istriku akan melahirkan. Menjelang tanggal itu, persiapan fisik semakin intensif. Kegiatan jalan kaki di pagi hari, semakin rutin dan semakin jauh. Agar tak bosan, beberapa rute baru dilalui. Mulai dari di dalam kompleks cluster, tetangga cluster, tetangga perumahan, hingga tetangga desa. Mulai dari trek konvensional hingga trek semak belukar.
Kulihat dia juga jadi sering baca tentang artikel persalinan. Juga video2 yg ada di youtube. Diantaranya channel dari seorang bidan yg menjelaskan secara detail tentang persalinan. Terkadang kita nonton sama2.
Awalnya kita ingin melahirkan di Surabaya. Terserah di rumah sakit mana. Yang penting Surabaya. Semata2 untuk mempercantik penulisan tempat tanggal lahir si bayi kelak di akta kelahiran, KK, atau KTP. Tapi setelah beberapa kali survei sana2i, tidak ada yg klik. Tempatnya, juga harganya. Terakhir yg akhirnya kita sadari adalah jaraknya. Karena jarak bisa saja berbanding lurus dengan resiko untuk orang seperti istriku yg sensitif dengan mobil.
Akhirnya kita putuskan, tak harus surabaya. Yg penting adalah keselamatan dan kepraktisan. Dipilihlah ini: Klinik Almira Medika. Hanya 4 kilo dari rumah. Hanya 5 menit.
Ketika usia kandungan 7 bulan, kita sudah mendapat informasi A1 tentang jenis kelamin si bayi: perempuan. Bukan cuma jenis kelamin, kita juga dapat bocoran tentang wajahnya. Juga suara detak jantungnya. Aku girang. Senyum istriku terus mengembang sejak dari klinik hingga rumah. Bahkan sampai besoknya..
Mempunyai (lagi) anak adalah hal yg tak pernah kita duga sebelumnya. Mendapatkan anak perempuan jelas semakin menyempurnakan kebahagiaan. Tak sabar menunggu hari kelahirannya.
Tanggal yg ditunggu2 itupun tiba: 27 Juli. Aku sengaja tak masuk kantor untuk memastikan bisa mengawal istriku kapan saja. Pagi jam 7, kuantar istriku ke klinik meski istriku belum merasakan tanda2 akan melahirkan. Setelah diperiksa, memang benar tidak mungkin akan melahirkan di hari itu. Tanggal 27 Juli yg ditunggu2 itu berlalu begitu saja tanpa peristiwa apapun. Aku maklum. Toh sejak awal dokter sudah menjelaskan tanggal 27 Juli adalah HPL: Hari Perkiraan Lahir. Perkiraan. Bisa maju, bisa juga mundur. Bisa juga seperti anak pertama: pas.
Penonton agak kecewa. Kakak ipar, Eni, yg sengaja menunda untuk pulang, sepertinya tak bisa mendampingi istriku melahirkan. Sudah hampir sebulan dia tdk masuk kantor. Tanggal 29 Juli akhirnya dia memutuskan untuk pulang tanggal 30 Juli.
Tanggal 30 Juli dini hari, istriku tiba2 merasa ada tanda2 akan melahirkan. Menurutnya, tanda2 itu juga muncul ketika melahirkan anak pertama. Keluar bercak darah. Eni yg sudah berkemas, sempat berpikir untuk membatalkan kepulangan.
Tapi setelah beberapa jam ditunggu, tanda2 itu tidak berlanjut. Beberapa artikel menyebut itu adalah fake contraction. Kontraksi palsu.
Eni memutuskan untuk tetap pulang.
Karena eni sudah pulang, tidak ada orang lagi di rumah yg temani istriku kalau aku masuk kantor. Akhirnya aku putuskan untuk siaga (siap antar jaga) istriku. Gak cuman siaga, aku juga sibelmascucpirberrumsemlir (siap belanja masak cuci piring bersih2 rumah sembarang kaler). Tidak masuk kantor. Full di rumah.
Tapi tanda kelahiran tak juga muncul. Sudah 3 hari aku tidak masuk kantor. Tidak ada tanda2 pembukaan. Sementara ada beberapa pekerjaan yg harus aku kerjakan di kantor.
Tanggal 1 Agustus, hari kamis, aku terpaksa masuk kantor dengan tetap menyandang status siaga 1.
Jam 1 siang aku menanyakan kabarnya. Dia bilang baik2 saja. Aku agak tenang. Beberapa menit kemudian dia kirim wa, tapi langsung dihapus. Aku tak sempat membacanya. Aku mulai merasa was2. Sementara aku masih rapat dengan direktur.
Tidak lama kemudian, dia kirim wa "aku naik grab aja ya, nanti km menyusul".
Astaga. Sepertinya ini beneran akan melahirkan. Sementara si direktur masih terus bicara. Aku sengaja tak merespon pembicaraannya, dengan harapan cepat selesai. Berhasil. Rapat selesai. Aku langsung ngebut pulang. Aku larang dia untuk naik grab. "Tunggu aku saja" kataku.
Sampai di rumah langsung berangkat ke klinik. Semua perlengkapan sudah aku siapkan sejak tanggal 27 Juli, tinggal kasih masuk mobil. Untung klinik tidak terlalu jauh dari rumah. Dalam perjalanan, dia tidak banyak bicara dan bersuara. Aku fokus menyetir.
Dia langsung masuk ruang persalinan dipandu seorang bidan. Kontraksi semakin kuat. Beberapa kali dia merintih kesakitan. Terkadang kontraksi menguat, terkadang menghilang.
Bidan terkejut ketika mendengar pengakuan istriku: tidak pernah periksa darah, dan tidak pernah konsumsi vitamin/obat. Sebagai suami, tiba2 aku merasa bersalah. Istriku memang sejak awal menolak diambil darahnya, juga minum obat macam2. Alasannya takut suntik, dan dulu waktu melahirkan sandy tak pernah begitu2 toh sandy bisa lahir dengan selamat dan sehat.
Bidan tidak memberikan pilihan lain. Harus periksa darah. Itu perintah dokter. Istriku tak bisa mengelak. Akhirnya mau diambil darahnya untuk diperiksa. Terpaksa mau.
Setelah hasil lab keluar, hasilnya sesuai prediksi si bidan. HB rendah. Bidan berusaha menjelaskan bahwa HB rendah itu berbahaya karena itu bisa menyebabkan pendarahan. Darah menjadi lambat membeku. Ini sangat serius.
"Jadi, ibu harus diinfus" kata si bidan.
Spontan istriku menolak. Istriku tak mau diinfus. Takut katanya. Lagipula, selama ini dia memiliki keyakinan infus itu racun. Infus justru membuat orang tidak sakit menjadi sakit. Membuat orang yg sakit semakin sakit. Gak jelas argumentasinya apa. Pokoknya begitu.
Cukup lama dia berkeras untuk tidak mau diinfus. Tapi si bidan juga berkeras, harus diinfus. Sebagai suami, aku berada di pihak istri. Tapi akal sehatku ada di pihak si bidan. Dengan akal sehatku, aku rayu istriku untuk mau diinfus. Dia tetap tidak mau.
Sampai pada suatu titik, si bidan mengancam akan menyodorkun form pernyataan penolakan tindakan medis dan tidak bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu. Istriku terjepit, sementara kontraksi semakin intensif. Akhirnya dia mau. Terpaksa mau.
Aku agak lega, dan berharap semua akan baik2 saja.
Dia merintih kesakitan menahan kontraksi yg semakin keras. Dia tidak mau baring. Dia sengaja ingin "menikmati" kontraksi sembil berdiri di samping tempat tidur. Begitu saran bidan yg dia lihat di youtube.
Beberapa kali dia mempermasalahkan infus. Menurutnya infus itu tidak berguna. Selangnya justru menghambat pergerakannya yg harus keluar masuk toilet. Jarumnya juga sangat menyakitkan. Berkali2 dia minta untuk dicabut saja. Aku melarangnya. Bidannya apalagi.
Kerasnya kontraksi berhasil mengalihkan perhatiannya pada ribetnya selang infus dan perihnya jarum infus. Dia semakin sering mengerang menahan kontraksi. Aku hanya berdua dengannya di ruang bersalin. Aku hanya bisa menenangkan. Si bidan entah kemana.
Dalam upaya menenangkannya, tiba2 kepalaku terasa berat, mata berkunang2, kaki lemas, dan susah bernafas. Seperti mau pingsan. Tapi aku tahan. Beberapa kali aku harus menjauh darinya. Membuka pintu dan menghirup udara segar. Lalu kembali lagi.
Entah karena aku melihat dan mencium darah. Entah karena tersugesti dengan rasa sakit yg dia rasakan. Entah kenapa bisa begitu.
Hingga kemudian yang ditunggu2 datang juga. Air ketuban tiba2 pecah, ketika dia dalam keadaan berdiri. Sekitar pukul 18.30. Si bidan langsung sigap memapahnya untuk segera baring di ranjang. Perlengkapan persalinan langsung disiapkan. Aku tidak diminta keluar. Aku tetap ada di samping istriku.
Bidan beberapa kali berkomunikasi dengan dokter via telpon, melaporkan kondisi istriku. Si dokter masih sibuk menerima konsultasi rutin di ruang prakteknya.
Istriku terus mengerang. Dia terlihat lebih terampil mengatur pernafasan, tanpa dipandu bidan. Posisi baringnya juga terlihat profesional. Kedua lengan tangannya dijepit di belakang paha lalu ia menariknya. Semakin keras dia mengerang, semakin keras dia menarik. Itu adalah teknik otodidak yg dia pelajari dari youtube.
Mukanya memerah dan berkeringat. Matanya fokus mengumpulkan tenaga untuk ngeden. Rambutnya berantakan. Dia tak lagi mengeluhkan jarum dan selang infus. Aku persis ada di sampingnya, mencoba memberi semangat. Sesekali aku lap keringatnya yg menggenang di dahi dan hidungnya. Dalam hati aku terus berdoa.
Aku telah menyiapkan diri untuk mendampinginya hingga beberapa jam, setidaknya seperti ketika melahirkan sandy. Ketika dia beberapa mengerang cukup keras, aku menganggap itu hanya permulaan. Aku mengira akan lahir di atas jam 9. Kira2 2 jam lagi.
Belum 5 menit aku mengira, gestur dokter dan bidan semakin sibuk. Tidak lagi hanya menunggu. Mereka seperti sedang menarik atau memperbaiki posisi sesuatu. Mereka terlihat semakin sibuk.
Jam 8.15 akhirnya aku tahu sesuatu yg ditarik dan diatur2 posisinya itu adalah seorang eh sebayi perempuan. Kulihat bayi itu seperti "melompat" setelah bahunya sudah terlihat keluar.
Aku lega setelah beberapa saat setelah "lompat", bayi itu kemudian menangis. Bayi itu kemudian sedikit dibersihkan dengan handuk, lalu diserahkan ke istriku untuk dibaringkan di dada istriku. Bayi itu seperti menikmati posisi itu. Istriku tersenyum, sambil mengamati si bayi.
Bayi itu sudah punya nama sebelum dia lahir. Aku menyiapkan beberapa opsi dan kombinasi nama. Istriku minta diberi nama seperti film kartun india yg diputar di antv: Shiva. Aku setuju, asal penulisannya tidak begitu karena sepertinya Shiva itu diambil dari nama dewa hindu: Shiwa. Aku ganti dengan Asyifa. Lebih islam.
Secara arti, Asyifa adalah pengobat atau menyembuhkan. Asyifa juga merupakan salah satu nama lain dari Alquran, seperti halnya Alkitab, Alfurqon, dan seterusnya.
Untuk menyesuaikan format nama kakaknya, nama depannya adalah Archa, akronim dari Arif Icha. Lalu digabung. Jadilah: Archasyifa.
Mencari nama kedua dan ketiga yg sulit. Ada beberapa opsi, tp aku kurang sreg. Kadang sreg, istriku yg tidak sreg. Begitu juga sebaliknya. Hingga kemudian, di detik2 terakhir istriku usul nama keduanya adalah Adriana, diambil dari nama istri. Aku setujui saja meski kurang sreg. Nanti aku ganti lagi, pikirku.
Setelah ketemu nama kedua, persoalan muncul pada nama ketiga. Cukup banyak opsi sebenarnya, tapi selalu tidak bisa mufakat. Usulku selalu ditolak istriku. Usul istriku selalu kutolak. Hingga bayi itu lahir, nama ketiganya belum juga ketemu.
Jadilah nama sementara yg tertulis di Surat Keterangan Lahir adalah: Archasyifa Adriana. Ah, yang penting ada dulu.
Beberapa hari setelah kelahiran, aku masih mencari2 nama kedua dan ketiga. Istriku usul: Archasyifa Adriana Medica. Medica diambil dari nama belakang tempat bersalin: Almira Medica.
Aku gak setuju. Kurang sreg. Kalau mau ambil nama tempat bersalin, harusnya ambil Almira-nya dong, bukan Medica-nya. Kalau misal lahir di Rumah Sakit Siloam, masak mau dikasih nama rumah sakit?
Setelah utak2ik sana2i, akhirnya aku putuskan menjadi: Archasyifa Andira Maida. Istriku setuju, meski tidak 100%. Tak apalah. Cepat2 langsung kuurus akta kelahirannya, sebelum dia berubah pikiran lagi.
Kenapa Andira Maida? karena aku sering membayangkan dan berharap dia akan menjadi perempuan yg cerdas, berani, dan tegas.
Seperti mamanya.
Komentar
Posting Komentar