Satu Nusa Satu Tontonan

Dibutuhkan waktu 36 jam atau 3 hari 2 malam untuk bisa sampai di Pelabuhan Bau-bau. Perjalanan akan dimulai dengan melintasi pantai utara Madura, kemudian perlahan menuju utara ke arah Pulau Sulawesi.

5 hingga 10 jam pertama, kondisi laut masih relatif tenang. Beberapa kali masih bisa berpapasan dengan kapal lain, mulai dari kapal nelayan, kapal penumpang hingga kapal tangker. Di ujung sana pun masih nampak daratan dengan beberapa bukit yang perlahan semakin kabur.

Selanjutnya akan terasa senyap, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sepanjang mata memandang. Kecuali laut yang tidak terbatas apapun. Angin semakin kencang menerpa apapun, riuh ombak semakin deras menghantam dinding kapal. Ayunan kapal semakin terasa.

23 jam berlalu, mulai nampak gugusan daratan di ujung sana. Untuk sejenak kapal akan berlabuh di daratan itu, membuang sauh dan mengambil bekal logistic. Tapi perjalanan belum selesai.

Perlahan kapal mulai meninggalkan pelabuhan itu, menuju arah timur. Ratusan penumpang baru mulai memenuhi setiap dek kapal, entah akan kemana mereka.

Lautan tak sekeras perjalanan kemarin tapi tetap mampu menggoyangkan kapal yang memiliki panjang 125 meter  dan lebar 50 meter. Beberapa ikan terbang berterbangan menghindari lajur jalannya kapal.

Setibanya di Pelabuhan Bau-bau, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan kapal yang lebih kecil menuju Pelabuhan Raha selama 3-4 jam perjalanan. Kali ini menyusuri lautan selat antara Pulau Buton dan Pulau Muna.

Beberapa perahu masyarakat Bajo terlihat menangkap ikan. Pantai dengan pasir putih berkilau dengan batu-batu karang besar, serta pohon-pohon kelapa menjulang akan menemani perjalanan menyusuri selat itu.

Tiba di Pelabuhan Raha, diperlukan lagi perjalanan darat selama kurang lebih 2 jam untuk sampai di Lawa, salah satu kecamatan di Kabupaten Muna yang terkenal dengan sarung tenun dan tarung kuda. Membutuhkan energi yang besar untuk menjalani 2 jam perjalanan itu, karena kondisi jalan yang penuh lubang dan berbatu.

Perjalanan akan melintasi beberapa kampung tradisional, dengan rumah panggung dari kayu jati dan atap jerami. Beberapa orang menatap dengan tatapan kosong. Di sebuah pasar kecil, nampak ibu-ibu menjual ikan teri dengan wajah dibaluri bedak dingin.


Sesampai di rumah kerabat, istirahat sejenak meluruskan kaki dan punggung. Waktunya mengisi perut, dengan gurihnya lapa-lapa, konro dan kadada katembe (sayur daun kelor). Nikmatnya.

Beberapa ekor sapi cokelat beberapa kali melintas di depan rumah, dipandu seorang laki-laki tua menuju entah kemana.

Terdengar beberapa pembicaraan beberapa kerabat dengan bahasa daerah yang tak satupun kata yang aku tahu artinya. Volumenya cukup keras dengan nada cukup tinggi, tapi tidak ada aura kemarahan dalam pembicaraan. Oh Tuhan, masih Indonesia kah ini ?

Bagai di sambar petir, tiba-tiba muncul seorang anak kecil, perempuan dengan kaos upin dan ipin lusuh tanpa alas kaki, kira-kira 3 tahunan, menyanyi dengan sangat lantang :

“…kuhamil duluan, sudah tiga bulan. Gara-gara pacaran tidurnya berduaan. Kuhamil duluan sudah tiga bulan, gara-gara pacaran sukan gelap gelapan…”


Komentar