Mbelgendhes Langsung & Tidak Langsung

Jauh dari lubuk hati yg paling dalam, aku kurang sreg dengan model pemilihan pemimpin (walikota, bupati, gubernur, dan presiden) secara langsung yg selama ini dijalankan bangsa ini. One man (and women) one vote.

Pemilihan model begini memang kedengarannya keren dan gagah. Setiap orang punya hak untuk menentukan siapa yg jadi pemimpin. Luar biasa berkuasanya rakyat dalam menentukan pemimpin. Sampai2, si calon harus ngemis2 suara hingga di gang2 sempit dan pelosok pedesaan.

Tapi ingat, pemilihan langsung membuat suara seorang bajingan setara dengan suara seorang guru. Suara psikopat setara dengan suara kyai. Suara koruptor setara dengan suara dermawan. Suara mafia setara dengan seorang ibu.

Bisa dibayangkan jika para bajingan, psikopat, koruptor, dan mafia bersatu memilih pemimpin. Atas nama demokrasi, sah2 saja mereka berkuasa!

Tapi, semalam, model pemilihan seperti itu telah diganti dgn pemilihan tidak langsung. Rakyat hanya memilih partai politik, selanjutnya parpol yg akan menentukannya di DPRD. Ada yg bahagia, ada juga yg kecewanya setengah mati.

Langsung atau tidak langsung, esensinya sebenarnya sama saja. Tapi masing2 pihak mengklaim paling baik dan paling demokratis.

Terlepas mana yang terbaik untuk demokrasi, aku gak percaya dengan niat para pengusung pemilihan langsung dan tidak langsung di DPR tadi malam adalah untuk memperjuangkan demokrasi.

Perdebatan pemilihan langsung atau tidak langsung, semata2 didasarkan pada itung2an kalkulator politik jumlah kekuatan kursi di parlemen pusat dan daerah. Hanya itu. Keadaan bisa berbalik kapan saja jika itung2an kalkulator politik berubah.

Kepentingan rakyat, demokrasi, hati nurani, dan sejenisnya: itu mbelgendhes! Omong kosong. Kemarin2 kemana bro?

Jadi, gak usah terlalu bahagia atau kecewa dengan keputusan DPR semalam. Ayo lanjut kerja.

Komentar