Kerupuk The Movie

Aku tidak keberatan, jika suatu saat nanti perjalanan hidupku di-filmkan, macam film Rudy Habibie. Asal, aku diperankan oleh aktor yg berbobot dan punya muka yg kurang lebih mirip.

Mike Lewis sepertinya cocok.

Salah satu scene terpenting yg tidak boleh tidak ada dalam film itu adalah tentang krupuk. Kenapa krupuk? Karena kira2 tahun 1987 sampe 1997an, krupuk menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidupku. Dan keluargaku.

Nggulung plastik
Untuk membungkus krupuk, diperlukan plastik. Plastik yg dipakai adalah plastik rol yg panjang, dgn ukuran 11 (kadang12) yg dipotong2 dengan ukuran tertentu dengan alat khusus yg dibikin bapakku. Alat khusus itu disebut: triplek. 

Plastik rol digulung menggunakan triplek. Setelah dirasa cukup, plastik dipotong di salah satu bagian. Jadilah plastik2 yg terpotong dgn panjang yg dibutuhkan. Nantinya, salah satu ujung plastik itu harus dilem. Ujung yg lain nantinya akan diikat pake tali rafia. Ibukku menyebutnya: rumput jepang. Nah, potongan2 tali itu juga harus disiapkan.

Tali rafia yang digunakan adalah tali rafia gulungan, yang kemudian dipotong dgn menggunakan teknik yg sama, yaitu dgn triplek. Tapi dengan triplek ukuran yg beda.

Ibukku lebih sering memotong langsung dengan mengandalkan feeling, daripada pake triplek. Seperti memotong kacang panjang. Hasilnya, kurang lebih sama.

Setelah terpotong, tali rafia masih harus disobek menjadi beberapa bagian karena, kata ibukku, satu potongan tali rafia terlalu tebal/lebar. Satu tali rafia harus dirobek jadi 5-6 bagian. Menurutku sih biar hemat aja...

Ngelem plastik
Plastik2 yg tadi sudah terpotong, salah satu ujungnya harus dilem. Secara teknis sih sebenarnya bukan dilem, tapi memanasi ujung plastik pake api lilin atau oblek, agar ujung plastik sedikit meleleh dan menutup. Harus dipastikan tidak ada bagian yg terlewatkan. Kalau ada, krupuk bisa cepat melempem.

Ngelem itu butuh konsentrasi, ketelitian, dan juga kesabaran. Ujung plastik harus menyentuh ujung api dengan tekanan dan kecepatan yg pas. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Lembar demi lembar. Puluhan, dan sering hingga ratusan. Setiap hari begitu.

Mungkin itulah yg bikin aku terlatih sabar dan tabah menghadapi setiap persoalan hidup. Jiah...

Mbungkus krupuk
Di saat keluarga lain sedang makan malam bersama atau asyik nonton tv bersama, kami sekeluarga setiap malam bercengkrama mbungkus krupuk bersama, hingga titik remukan krupuk yg terakhir.

Caranya begini:
Pertama, krupuk ditumpah secukupnya. Lalu satu per satu krupuk dimasukkan dalam plastik (yg sudah dilem). Ada yg isi 10, ada juga yg isi 5, tergantung jenis krupuknya. Kalau sudah habis, ditumpah lagi. Begitu seterusnya, sampai benar2 habis krupuknya.

Kedua, plastik2 yg sudah terisi krupuk dikumpulkan jadi satu. Lalu, ibukku atau kakakku yg bertugas ngikat krupuk2 itu dgn tali rafia, satu per satu.

Ketiga, sudah begitu saja. Memang gampang sih, tapi banyaknya itu loh yg bikin leher jadi kemeng.

Sambil mbungkus, bisa sambil ngobrol, guyon, dan ngemil pecahan atau ujung krupuk. Kalau dapat krupuk yg kunthet, selalu jadi rebutan.



Jemur krupuk
Awal tahun 1995, bapakku memutuskan untuk memproduksi sendiri krupuk, maksudnya beli krecek (krupuk mentah) lalu digoreng sendiri. Untungnya lebih besar katanya.

Sebelum digoreng, krecek2 itu harus dijemur dulu beberapa jam di panas matahari. Di depan rumah. Kadang sampai di teras rumah tetangga.

Aku sering dapat tugas untuk menjemur krecek2 itu. Krecek2 itu harus diratakan sedemikian rupa agar semua krecek mendapat panas sinar matahari yg cukup. Sebisa mungkin tdk ada yg menumpuk atau terhalang bayangan pohon atau tiang telepon.

Dan yang paling penting adalah, harus benar2 siaga ketika hujan tiba2 turun. Lari harus kencang, sambil teriak minta bantuan: "Pak, udaaan!!"

Beli minyak
Setiap hari, bapakku perlu minyak goreng untuk menggoreng krecek yg tadi dijemur. Bukan 1botol atau 2botol, tapi 2jerigen. Kadang 3jerigen.

Aku membelinya di toko langganan: toko glatik, namanya. Gak terlalu jauh dari rumah. Kadang aku bawa motor, kadang bawa becak. Enakan bawa becak, sekali jalan langsung bawa 2 jerigen. Kalau bawa motor harus balik 2 kali.

Berisik
Aku tahu, bapakku tidak pernah punya ijin keramaian (HO). Bukan karena tidak diijinkan, tapi memang tak pernah mengurusnya. Padahal, suara yg keluar dari kompor, ramainya minta ampun. Berisik. Satu gang terdengar. Mungkin gang sebelah juga.

Bapakku setiap hari, jam 1 sampai jam 3an siang, menggoreng krupuk. Dengan hanya bercelana kolor, tanpa baju, bapakku menggoreng krupuk sendirian. Badannya mengkilat terkena percikan minyak.

2 kompor mawar sekaligus yg dipake bapakku menghasilkan suara sangat berisik. Ngomong tidak bisa berbisik. Harus teriak, karena bersaing dengan suara kompor itu.

Meskipun begitu, tidak ada tetanggaku yg komplen. Pak RT juga nggak. Mungkin mengeluh sih, tapi sungkan mau ngomong.

Malu
Awalnya, aku malu sama teman2ku di sekolah kalau orang tuaku adalah penjual krupuk. Bukannya apa, aku hidup di jaman ketika nama orang tua dan pekerjaan orang tua adalah aib, yg bisa jadi bahan tertawaan dan olokan satu sekolahan.

Sementara, aku tidak mungkin menyembunyikan nama bapakku, apalagi pekerjaan bapakku.

Lama2 kelamaan aku kebal juga diolokin. Ya sudah tak biarin saja. Malah sekalian saja, aku ajak teman2ku ke rumah, untuk ambil/makan krupuk. Ambil sepuasnya.

Kalau teman2ku bikin acara rujakan, aku selalu mengajukan diri membawakan krupuk dari rumah. Gratis. Kadang aku jadi tuan rumahnya.

Gantungan kunci motorku-pun unik: krecek.

Sejak itu, tidak ada lagi yg olokin aku.

---

Semoga Mike Lewis bisa menghayati peran ini. Amin.


Komentar