Semacam Kolam

Dulu, ketika aku masih sibuk berangan2 punya rumah, aku sering iseng2 gambar denah rumah. Dengan skill menggambar di bawah pas2an, kugambar denah 2 dimensi di komputer, dengan software yg sebenarnya tidak diperuntukkan untuk desain gambar rumah: Coreldraw.
.
Hasilnya, biasa saja. Di bawah standar desain denah rumah pada umumnya. Kaku. Kotak2. Template banget. Tapi itu sudah cukup untuk menghibur imajinasiku untuk memiliki rumah dgn denah yg aku inginkan. Tepatnya, denah yg bisa aku gambar.
.
Kesamaan dari denah2 yg aku pernah gambar adalah selalu ada kolam ikan di halaman depan rumah. Berbentuk persegi. Di pinggir2nya ada tanaman dan bunga2. Beberapa ikan koi.
.
Sesungguhnya aku tidak pernah terobsesi dengan kolam, atau ikan koi. Tapi, rasanya, rumah dengan kolam ikan (koi) adalah rumah yg lengkap. Rasanya adem aja dilihat. Dibayangkan saja sudah terasa adem.
.
Beberapa tahun kemudian, ketika benar2 sudah punya rumah, aku tak pernah mengingat lg denah2 rumah yg pernah kugambar. Ambisi untuk punya denah impian, harus takluk pada denah pemberian developer. Desain2 denah rumah yg pernah kugambar hanyalah angan yg bertepuk sebelah tangan. Pada akhirnya, aku nikmati saja denah dari developer. Toh, denah yg aku gambar ternyata tidak lebih baik dari denah developer. Meski tanpa kolam ikan sekalipun.
.
Entah bagaimana istriku mengatur uang, perlahan rumahku akhirnya tersentuh renovasi. Bagian belakang. Lalu atas. Lalu tengah, mengganti kusen2, dan lalu menaikkan lantai. Walaupun belum ada yg 100% selesai, rumahku perlahan sudah agak berubah.
.
Dalam perjalan panjang renovasi2 itu, kolam ikan tidak pernah masuk dalam agenda. Jangka panjang, apalagi jangka pendek. Kolam ikan terlalu tersier untuk diagendakan. Harga barang2 bangunan, apalagi biaya tukang, terlalu berat untuk dialokasikan pada agenda tersier itu.
.
Mahal dan murah memang relatif, tp untuk kondisi saat itu, murah pun menjadi terasa mahal. Apalagi yg mahal. Tau kan maksudku..
.
Sampai suatu ketika, entah dari mana, tiba2 aku ingin membuat kolam ikan di halaman depan. Sendiri. Tanpa tukang, atau kuli. Benar2 sendiri. Alat seadanya. Anggaran sebatasnya.
.
Sejak saat itu aku rajin browsing dan nge-yutub tentang kolam. Kolam ikan koi. Bentuk2, sistem, dan cara membuatnya. Ternyata banyak referensinya. Dari lokal, sampai internasional. Dari yg amatir sampai yg profesional. Dari yg sederhana, sampai yg rumit. Dari yg mahal, sampai yg murah.
.
Sepertinya aku bisa bikin. Yang sederhana, dan murah.
.
Secangkul demi secangkul kugali tanah di halaman depan rumah. Tak cukup sehari, kulanjutkan keesokan hari. Lalu berhenti beberapa hari, kemudian kulanjutkan lagi. Begitulah proses cangkul mencangkul berjalan hingga beberapa minggu.
.
Setelah kuanggap cukup, kulanjutkan dengan menyusun batu bata. Biji demi biji batu bata kususun dengan serapi mungkin. Tak pernah kutarget berapa batu bata yg akan kususun dalam sehari. Mengalir saja. Secapeknya, dan sehabisnya campuran semen. Juga jam masuk kantor.
.
Hingga tiba2, setelah hampir 3 bulan, tak terasa bentuk kolam sudah mulai terlihat. Kolam utama dan filternya. Meski masih kasar, kupandangi calon kolam itu setiap malam, rasanya tak percaya aku bisa melakukannya. Seorang diri. Ini adalah karya infrastruktur pertamaku.
.
Bagus atau tidak itu relatif. Tapi bagi seorang sarjana hukum yg tak pernah sekalipun berkarir menjadi kuli, apalagi tukang, ini sudah lebih dari lumayan. Tantangan berikutnya adalah berfungsi atau tidak kolam itu. Kolamnya, dan filternya. Ini yg belum teruji.
.
Kalaupun ternyata tidak berfungsi sebagai kolam ikan, mungkin aku tidak akan terlalu kecewa, karena anakku ternyata memintaku agar kolam ini tidak menjadi kolam ikan. Bukan cuma anakku, tp juga teman2nya. Permintaan itu semangkin melecut semangatku. Setidaknya ada alternatif lain kalau kolam ini gagal jadi kolam ikan: jadi (semacam) kolam renang.
.

Komentar