SUTADI
Dalam peristirahatannya, Sutadi
tiba-tiba terperanjak ketika tiba-tiba datang segerombolan petugas keamanan
datang dengan pentungan, peluit dan pengeras suara memerintahkan agar para
tukang becak yang mangkal di pinggir jalan segera bubar.
Beberapa petugas yang nampaknya sudah
mengincar Sutadi nampak sangat bersemangat mengejar Sutadi hingga ke
lorong-lorong perkampungan menggunakan sepatu roda. Sutadi melaju becaknya
dengan sigap.
Beberapa petugas mengejar dengan cepat.
Sesekali mereka harus melompat sana-sini, menghindari kucing, tong sampah,
jemuran, dan kasur. Debu-debu dan daun-daun kering berterbangan diterjang laju
petugas.
“Sutadi, berhenti. Kami tidak ingin menangkapmu. Berhenti!” teriak
petugas melalui pengeras suara.
“Omong kosong!” sahut Sutadi.
“Tidak, kami tidak menangkapmu. Bupati ingin mengajakmu kerjasama. Bupati
punya tawaran dahsyat buat kamu!” Jawab petugas.
“Cciiittttt” dercit roda becak Sutadi mendadak berhentik. Roda
belakang ngepot ke kiri, Sutadi sigap menghentikan becaknya.
“Apalagi akal busuk Bupati?” tanya Sutadi.
“huh...huh...huh...” petugas mengatur nafasnya.
“Ini proyek mercu suar, proyek besar. Dia minta kamu menjadi bagian dalam
proyek ini” jelas petugas dengan terengah-engah.
“Bupati akan membangun becakway!!” tegas Petugas.
“Ini bukan proyek main-main. Anggarannya udah siap. Ini proyek 4,7
trilliun!” tambah Petugas.
“Hah, becakway?!” Sutadi terkejut.
“Lebih canggih dari monorel. Setiap becakway akan dikendalikan secara
otomatis dari pusat dengan kendali komputer. Selain ber-AC, setiap tempat
duduknya dilengkapi dengan alat pijat refleksi otomatis” tambah
Petugas.
“Bupati-mu memang sudah gila!” teriak Sutadi.
Dengan mengangkat roda depan, Sutadi
kembali memacu becaknya yang kali ini tidak bisa dikejar petugas keamanan,
menghilang di lorong-lorong perkampungan. Petugas hanya melongo melihat
kecepatan Sutadi.
*******
Matahari semakin ke timur, langit mulai
menguning dan angin meniup perlahan daun-daun akasia. Sutadi terdiam di warung
Mak Mumun. Sesekali dia nyruput kopi
dengan tatapan kosong.
“Bupati mau bangun becakway” gumam Sutadi.
“Apa itu?” tanya Mak Mumun.
“Becakway, pertama dan tercanggih di dunia. Becakway akan dirancang menjadi
kendaraan umum dan satu-satunya di kota ini, punya jalur khusus dan akan
dikendalikan secara otomatis oleh komputer. Karena dikendalikan komputer, becakway
tidak butuh tukang becak” terang Sutadi.
“Kalau becakway benar-benar beroperasi, becak-becak akan dimusnahkan. Becak-becak
akan ditangkapi dan dijadikan besi tua, dilebur dan dicetak ulang menjadi
knalpot becakway” tambah Sutadi.
Mak Mumun menyimak betul cerita
becakway. Beberapa dia catat di kertas kelander bekas. Dia mulai merasakan
kegelisahan yang Sutadi rasakan. Kegelisahan yang bahkan melebihi kegelisahan
Sutadi.
Setiap pelanggan yang datang ke
warungnya, Mak Mumun menceritakan kegelisahan Sutadi dan kegelisahannya tentang
becakway.
Kegelisahan Mak Mumun telah menyebar ke
mana-mana. Dari warung kopi ke pasar, dari pinggir jalan hingga alun-alun, dari
poskamling hingga terminal, dari kuburan hingga taman kota.
*******
Pagi yang cerah, Sutadi mengayuh
becaknya menuju Mahkamah Keadilan, Sutadi hendak mengajukan gugatan kepada Bupati!
Sutadi memarkir becaknya di bawah pohon
beringin depan Mahkamah Keadilan, disamping mobil-mobil mewah keluaran terbaru
milik pejabat Mahkamah Keadilan dan beberapa pengacara.
“Bapak harus mendaftar dulu di bagian kepaniteraan dan membayar biaya
pendaftaran” terang petugas pengadilan berkulit putih beralis tipis.
“Saya kesini mencari keadilan. Sejak kapan keadilan ada biayanya?” tanya
Sutadi dengan ketus.
“Keadilan memang tidak ada biayanya pak, tapi untuk bersidang, hakim perlu
digaji, pegawai perlu gaji, bayar listrik, bayar air, bayar renovasi gedung,
bayar angsuran mobil pak ketua dan lain-lain” terang Petugas
beralis tipis itu.
“Saya orang miskin, masak kalian minta itu semua sama saya?” sergap
Sutadi.
“Bukan begitu pak, semua orang yang ingin menggugat memang harus membayar” terang
Petugas itu berusaha menenangkan Sutadi.
“Saya tidak mau bayar. Saya kesini mau mencari keadilan, bukan untuk bayar
rekening listrik kalian!” Sutadi mulai emosi.
“Sampeyan ini maunya apa? dikasih tahu baik-baik kok malah nyolot. Dari
sejak jaman proklamasi, tidak ada yang gratis di negeri ini. Kalau sampeyan
ngotot saya juga bisa ngotot!” petugas itu pun terpancing emosi.
Sutadi menggebrak meja. Petugas beralis
tipis juga tak mau kalah, dia malah naik meja. Nyaris terjadi baku pukul.
Puluhan orang mengerubuti dua orang itu. Bukan untuk melerai namun untuk
memastikan siapa yang akan memenangkan pertengkaran itu.
Perseteruan itu menarik perhatian semua
orang di Mahkamah Keadilan, hingga ketua Mahkamah Keadilan pun menghampiri
kerumunan itu.
“Baik, gugatan Bapak kami terima. Tapi silahkan bapak menunggu di ruang
tunggu” terang Ketua dengan nada bijak.
*******
Pagi yang terik, tidak biasanya jalanan
terlihat sangat sepi. Tidak nampak becak-becak yang biasa berlalu lalang.
Ribuan ibu-ibu terjebak di pasar-pasar, tidak bisa pulang karena tidak ada yang
mengantar pulang dan ribuan anak-anak sekolah berkeliaran di trotoar.
Selidik punya selidik, ribuan tukang
becak berkumpul di sebuah tanah lapang bekas kebun tebu. Entah siapa yang
mengkomando, hampir semua tukang becak di seluruh kota berkumpul di sana.
Dari atas sebuah becak, Sutadi nampak berdiri berorasi.
Dari atas sebuah becak, Sutadi nampak berdiri berorasi.
“Saudara-saudara, senasib dan sepenanggungan” Sutadi memulai
berpidato.
“Terik matahari dan sengatan kemiskinan tidak menyurutkan semangat kita
untuk berkumpul di tempat ini. Persaudaraan kita tak akan retak karena
kesedihani”
“Saat ini kita diancam dengan sebuah rencana besar yang bisa jadi akan menjadi sejarah penting dalam peradaban perbecakan di negeri ini”
“Bupati akan habis-habisan merebut becak-becak kita, merebut pekerjaan dan merebut kebanggaan kita sebagai tukang becak”
“Tidak ada pilihan lain, kecuali melawan. Ambil keputusan, menjadi bagian
dari proyek becakway atau menjadi laskar becak untuk mempertahankan harga diri
tukang becak”
“Bupati janc**k!! Kita harus berjuang!” teriak salah
seorang tukang becak di barisan belakang.
“Kita tidak bisa gegabah melawan bupati. Kita harus konsolidasi!” celetuk
tukang becak lainnya di barisan depan.
“Betul!!” teriak tukang becak di bagian belakang.
“Kalau begitu kita harus membuat komitmen, mempersamakan paradigma
perjuangan ini” tambah tukang becak entah dari barisan mana.
“Percuma kalau bersatu kalau kita tidak punya strategi perlawanan” balas
seorang tukang becak di barisan depan.
“Betul itu, percuma!!”
“Perjuangan jangan lupakan anak istri
yang butuh makan!!”
“Betul!!!”
Pembicaraan semakin kacau tak
terkendali, namun mereka berada pada kegelisahan yang sama.
Sebuah helikopter dari stasiun TV
nasional berputar-putar di atas pertemuan para tukang becak. Seorang reporter menyiarkan
secara live pertemuan dadakan itu.
Angin tiupan helikopter semakin
kencang, ribuan tukang becak tetap melanjutkan perdebatan jalanan itu. Deru
mesin helikopter dan daun-daun yang berhamburan tertiup angin helikopter.
“Saudara-saudaraku, mungkin cepat atau lambat peradaban manusia akan
melumatkan becak-becak kita. Kita tidak boleh menjadi bagian dari musnahnya
peradaban becak. Jika kita tidak melawan, maka sesungguhnya kita menjadi bagian
pemusnahaan itu” teriak Sutadi dari atas becak.
*******
“Sidang dinyatakan terbuka dan dibuka untuk umum” kata seorang hakim
sambil mengetuk meja tanda dimulainya persidangan.
“Kami persilahkan kepada Penggugat untuk menyampaikan materi gugatannya.
Apakah Anda sudah siap?” tanya hakim kepada Sutadi.
“Saya ingin keadilan. Berdasarkan konstitusi, saya punya hak untuk diperlakukan adil, punya hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kebijakan penangkapan terhadap tukang becak jelas melanggar konstitusi” terang Sutadi dengan lantang.
“Saya ingin keadilan. Berdasarkan konstitusi, saya punya hak untuk diperlakukan adil, punya hak untuk mendapatkan penghasilan yang layak. Kebijakan penangkapan terhadap tukang becak jelas melanggar konstitusi” terang Sutadi dengan lantang.
“Keberatan Majelis!” sergap Pengacara Bupati yang bergigi emas itu.
“Apa keberatan Saudara?” tanya Hakim kepada Pengacara bergigi emas itu.
“Penggugat telah main hakim sendiri. Konstitusi justru memberikan
kewenangan kepada bupati untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Program
becakway yang digagas oleh Bupati adalah program revolusioner untuk
menyelamatkan perekonomian masyarakat. Gugatan penggugat, jelas-jelas adalah pencemaran
nama baik, penghinaan dan merendahkan harkat dan martabat Bupati. Itu adalah
pelecehan terhadap konstitusi dan etika berbangsa dan bernegara!” terang sang
Pengacara.
“Keberatan diterima” kata Hakim tanpa pikir panjang.
“Lha kok begitu?” Sutadi terkejut.
“Ya memang begitu!” jawab sang Hakim.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Sutadi.
“Memangnya tidak bisa begitu? Pokoknya begitu, keberatan diterima, titik!” jawab Hakim
menutup perdebatan.
Pendukung Sutadi berteriak bersahutan,
membuat gaduh ruang sidang.
Kilat blits para wartawan berkilatan,
mencoba menangkap momen kegaduhan yang dibuat oleh ratusan tukang becak.
Suasana semakin gaduh karena Sutadi terpancing untuk ikut memaki hakim yang
nyata-nyata berat sebelah.
Hakim beberapa kali mengetuk palu,
namun tidak ada yang menghiraukan. Bahkan, Sutadi berdiri di atas kursi memberi
semangat kepada rekan-rekannya.
‘Maju tak gentar, membela yang benar....!!!” lantang Sutadi
memimpin koor.
“Maju serentak, hak kita diserang....!!” sahut para tukang
becak.
Hakim naik pitam. Dia menggebrak meja
lalu berdiri di atas meja. Dengan menggenggam palu kebesarannya. Sang hakim
mengancam akan melempar palu itu kepada pembuat onar.
“Diam kalian semua!!!” teriak sang hakim, melengking tinggi.
“Kalian keluar semua dari ruangan ini. Sidang dinyatakan tertutup, termasuk
kamu Sutadi!!” lanjut sang Hakim sambil mengacungkan palu ke arah
Sutadi.
“Keluar kalian semua. Sidang akan tetap dilanjutkan, dengan IN ABTENSTIA!!” teriak sang
Hakim, semakin melengking tinggi.
Dengan bergegas 3 orang aparat keamanan
menyeret Sutadi keluar ruang sidang. Sutadi hanya bisa meronta-ronta. Diiringi
lagu-lagu perjuangan dari rekan-rekannya, penyeretan Sutadi oleh aparat
keamanan itu semakin terasa dramatis.
*******
Sudah sebulan lebih, warung Mak Mumun
tutup. Sama sekali tidak ada aktivitas di warung itu. Semua merasa kehilangan.
Beberapa tukang becak hanya duduk termenung.
Tiba-tiba terdengar suara menderu dari
atas. Sebuah helikopter terbang rendah melintasi warung Mak Mumun. Beberapa
tukang becak terkejut, mencoba melongok ke atas, mencari tahu apa yg terjadi.
Nampaknya itu helikopter milik stasiun tv yg sedang meliput berita.
"Pasti telah terjadi peristiwa besar!" teriak tukang
becak.
"Mungkin ada penangkapan terorisme, atau mungkin ada bom" mereka
semakin penasaran.
Mereka berjuang mengikuti arah
helikopter itu terbang. Mereka harus berlarian masuk gang-gang kecil, memanjat
rumah, melompat tembok hingga menerabas sungai mereka tidak mau kehilangan
jejak helikopter.
*******
"Pemirsa, berikut kami sampaikan headline news yang kami laporkan secara
langsung. Kami mendapat kabar telah terjadi unjuk rasa besar-besaran di
balaikota" seru Najwa Shihab di layar tv yg disiarkan secara live
dari sebuah helikopter.
Najwa Shihab terus memberikan
ilustrasi, tapi kamera menyorot ke arah rumah-rumah penduduk dan jalanan yang terlihat
sangat sepi.
"Pemirsa, seperti yang juga nampak dari layar tv pemirsa, puluhan
orang berlarian mengikuti arah helikopter ini. Mereka berlari, memanjat,
melompat, bahkan menerabas sungai. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja” suara Najwa
semakin keras, bersaing dengan deru baling2 helikopter.
"Pemirsa, saat ini kami sudah sampi di atas kantor Bupati. Ribuan ibu-ibu
berkumpul di halaman kantor Bupati. Mereka meneriakkan sesuatu yg kami tidak
dapat mendengarnya dengan jelas dari sini"
"Sayup-sayup terdengar dari sini mereka juga menyanyikan lagu-lagu sambil...ooo...mereka
membawa alat-alat dapur sebagai alat musiknya!"
"Seperti yg pemirsa bisa saksikan di layar tv, mereka membawa panci,
wajan, jerigen, galon air, sutil, enthong, bahkan ada yang membawa tabung
elpiji!"
"Pemirsa saat ini saya sudah terhubung dengan Tina Talisa yang saat
ini berada di tengah-tengah para demonstran di bawah sana. Tina Talisa apa yang
Anda bisa sampaikan dari tempat Anda berdiri?"
*******
Dari atas podium, Mak Mumun berorasi
dengan sangat luar biasa, membakar semangat ribuan ibu-ibu. Dengan wajan dan
sutil, Mak Mumun memimpin dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang mereka
ciptakan sendiri.
Suasana semakin berisik. Meski alunan
musik terdengar tidak nyambung dengan nyanyian, mereka terus bernyanyi dan
bernyanyi.
"Kluthak...kluthuk..kluthak...kluthak...teng...teng...deerr...!!" terdengar
sangat keras dan berulang-ulang.
Sebuah poster besar berwarna putih
terpampang jelas di barisan depan "batalkan becakway, atau kami akan terus
bernyanyi!!"
Tina Talisa berusaha meminta Mak Mumun
untuk melakukan wawancara.
"Ya Najwa, saat ini Saya sedang berada di samping seorang ibu yang
memimpin aksi unjuk rasa ini. Kita akan berbincang-bincang. Selamat malam Mak
Mumun" sapa Tina Talisa kepada Mak Mumun.
"Selamat malam" balas Mak Mumun. Sementara puluhan ibu-ibu berdiri
kegirangan di belakang Mak Mumun karena masuk tv.
"Bisa ibu jelaskan apa yang Ibu tuntut dalam unjuk rasa ini?" tanya Tina
Talisa.
"Kami hanya minta pembatalan becakway! Itu saja!" seru Mak
Mumun.
"Jika tuntutan Anda tidak dipenuhi bupati, apa yang akan Anda
lakukan?"
"Kami akan tetap disini dan akan terus bernyanyi. Jika itu tidak juga
berhasil, kami akan mogok masak" seru Mak Mumun.
"Demikian, Najwa yang dapat Saya laporkan dari balaikota. Kembali ke Anda" tutup Tina
Talisa mengakhiri wawancara.
*******
Tepat tengah malam Bupati mengadakan
konferensi pers mendadak di sebuah hotel berbintang banyak, menyikapi unjuk
rasa di balaikota. Konferensi pers itu disiarkan secara langsung oleh tv-tv
nasional. Ratusan wartawan berkerumun, berebut posisi untuk mendapatkan angle terbaik.
"Ekheem..." Bupati membuka pembicaraan.
"Atas nama konstitusi, Saya selaku pemimpin daerah terus mengamati
dinamika masyarakat, termasuk terhadap adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan
beberapa gelintir orang di balaikotai” terang Bupati dengan
suara yang diberat-berat-kan.
"Saya tidak dapat menerima aksi-aksi provokatif yang menentang
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui modernisasi alat transporatasi
kota" lanjut Bupati, mulai terdengar nada emosi.
"Dengan sangat terpaksa, saya selaku pemimpin, merasa perlu mengambil
keputusan tegas" kata Bupati memulai ancaman-nya.
"Saya telah berkoordinasi dengan Mahkamah Keadilan dan Badan Legislatif.
Dengan ini Saya mengambil keputusan tegas. Saya menyatakan pemberlakuan
pembatasan konsumsi beras dan garam” Bupati benar-benar emosi.
"Keputusan ini akan saya cabut sampai ada permohonan maaf dari Sutadi
kepada saya" tutup Bupati.
*******
Hanya dalam hitungan hari, keputusan
Bupati langsung dirasakan masyarakat. Masyarakat mulai bergejolak hebat, karena
beras dan garam menghilang dari pasar. Kalaupun ada, harganya sudah melonjak
tinggi, tak banyak yg mampu membeli.
Sebenarnya ketiadaan beras mereka masih
bisa ganti dengan jagung dan singkong. Tapi ketiadaan garam membuat mereka tak
berdaya. Hingga kemudian, semakin banyak orang yg mendesak Sutadi untuk
menuruti saja kemauan Bupati: minta maaf!
Tentu tak mudah buat Sutadi untuk
mengucapkan maaf kepada Bupati. Begitu panjang perjuangan Sutadi mengorganisir
ratusan tukang becak dan ribuan ibu-ibu untuk melawan kebijakan becakway, mustahil
buat Sutadi untuk tiba-tiba menghentikan perjuangan hanya karena garam.
Perlahan-lahan dukungan kepada Sutadi
semakin kecil dan hilang sama sekali. Mereka tergerus oleh gerilya Bupati yang gencar
membagikan beras dan garam secara gratis jika membuat surat dukungan kepada
Bupati.
Sebaliknya, Sutadi hanya melongo
melihat teman-teman seperjuangan-nya rela berpanas-panas antri di rumah Bupati
untuk menerima beras dan garam dari Bupati, termasuk Mak Mumun.
*******
"Sepertinya perjuangan kita telah selesai!" tulis
Mak Mumun kepada Sutadi melalui surat.
"Aku tidak menyangka perjuangan yg sudah dekat sekali
dengan kemenangan ini harus terjungkal karena garam" lanjut Mak Mumun
"Situasi saat ini menjadi begitu berat untukku. Jauh
lebih berat dari situasi ketika pertama kali aku sedikit demi sedikit
meyakinkan orang2 untuk satu barisan dalam perjuangan kita"
"Aku merasa begitu yakin perjuangan kita akan berhasil
dengan mudah ketika kita bisa menduduki kantor Bupati. Makanya, begitu aku
menyadari perjuangan ini telah gagal, aku benar2 terpukul. Sakit. Perih"
"Aku benar2 menyesal menjadi bagian dari kegagalan ini.
Mungkin tidak lama lagi becak akan benar2 punah. Entah bagaimana aku akan
menceritakan kepada cucu2ku jika mereka bertanya apa itu becak?"
"Aku tidak bisa membayangkan betapa kecewanya mereka
begitu tahu neneknya terlibat dalam kegagalan mempertahankan becak2 itu"
Sutadi mulai meneteskan air matanya membaca bagian ini
"Dulu, aku selalu berdoa agar sisa2 umurku kelak tidak
kuhabiskan dengan sekedar menunggu mati. Tapi sepertinya doaku tidak
dikabulkan. Aku akan menghabiskan sisa2 umurku yg penuh kepedihan ini sambil
menunggu mati" Sutadi semakin mengisak tangis
"Sampaikan salamku pada orang2 yg masih gigih berjuang
melawan Bupati"
Di bawah pohon akasia, Sutadi termenung sendiri. Tatapannya semakin dalam, menyaksikan becak-becak yang teronggok di pembuangan sampah.
*******
"Sepertinya, semua memang telah benar-benar berakhir" gumam
Sutadi.
"Ketakutanku telah terbukti, aku adalah tukang becak terakhir di muka
bumi. Aku tidak menyangka secepat ini"
Sutadi berusaha menyeka matanya ketika
tiba-tiba datang seorang perempuan tua berambut putih.
"Bupati ingin menemuimu sekarang" kata perempuan itu.
"Hah?" Sutadi kaget.
"Ada yg ingin dibicarakan" lanjut perempuan
itu.
“Mau apa lagi dia?” tanya Sutadi.
“Tanyakan langsung pada Bupati. Temui dia di gudang tua itu” kata
perempuan itu sambil menunjuk sebuah gudang tua yang sudah lama tidak dipakai.
*******
Dengan penuh kemarahan, Sutadi mengayuh
becaknya menuju gudang tua. Sutadi merasa ini adalah kesempatan untuknya untuk
meluapkan kemarahannya kepada Bupati.
Setibanya di dalam gudang tua, Sutadi
terperangah karena di dalam gudang begitu gelap.
"Bupati!!" teriak Sutadi
"Ini aku, Sutadi. Kamu dimana?!" teriak Sutadi lagi.
"Kau boleh merasa menang, tapi selama aku masih hidup, aku akan terus
melawan ketidakadilanmu!"
"Ekheeemm!" tiba-tiba terdengar suara mendekhem.
"Siapa itu?" tanya Sutadi.
"Ini aku. Aku Bupati" jawab Bupati tanpa memperlihatkan
diri.
Tiba-tiba di sebuah sudut gudang itu,
menyala sebuah lilin. Nampak sekilas sesosok laki-laki, tapi tidak jelas siapa.
Tidak lama kemudian, dari sudut yang lain menyala juga sebuah lilin. Tidak lama
kemudian, menyala lagi sebuah lilin dari sudut gudang yang lain.
Sutadi semakin terperangah, menyadari
bahwa dirinya telah terkepung.
"Kurang ajar aku sudah terkepung" gumam Sutadi.
Tidak lama berselang, semakin banyak
lilin menyala. Sutadi semakin terperanjat. Matanya melotot, tangannya memasang jurus
dan kakinya memasang kuda-kuda. Keringatnya semakin mengucur, meski udara cukup
dingin.
Tiba-tiba sebuah lampu sorot memancar
ke arah Sutadi, membuat Sutadi semakin tidak dapat melihat jelas apa yang
sedang terjadi.
"Kau boleh kecewa dan marah padaku Sutadi. Tapi kau tidak bisa marah
kepada semua orang yang telah meninggalkanmu" ujar Bupati yang
masih tak menampakkan diri.
"Kuakui kau adalah tukang becak yang sangat tangguh. Jauh lebih
tangguh dari yang aku kira" kata Bupati.
"Sutadi, sesungguhnya kami tidak pernah benar-benar
meninggalkanmu" tambah seorang perempuan.
"Mak Mumun? Kau kah itu?" tanya Sutadi.
"Malam ini kami sengaja membawa kamu di sini, untuk satu tujuan" tambah
perempuan itu.
"Kami ingin mengucapkan..."
"SELAMAT ULANG TAHUN!!!" teriak ribuan orang
yang ada di dalam dan di luar gudang bersahut-sahutan.
Lampu gudang tiba-tiba menyala. Tanpa
ada yg mengkomando, ribuan orang menampakkan diri dari kegelapan dan
menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
"Selamat ulang tahun, kami ucapkan. Selamat sejahtera, sehat sentosa.
Selamat ulang tahun dan bahagia!"
Sutadi hanya melongo melihat semua itu.
Tangannya masih memasang jurus, kakinya pun masih terpasang kuda-kuda kokoh.
Bupati berjalan menghampiri Sutadi
sambil membawa kue tart coklat berhias lilin. Di belakangnya ada Mak Mumun,
ketua Mahkamah Keadilan, Pengacara bergigi emas, Najwa Sihab, Tina Talisa, dan
ribuan tukang becak.
Sutadi masih melongo.
Bupati semakin mendekat ke arah Sutadi.
Bupati menyodorkan kue tart ke arah Sutadi.
"Selamat ulang tahun, Sutadi" sapa Bupati.
Sutadi masih melongo.
"Tiup lilinnya..." terdengar suara dari belakang Bupati,
lalu diikuti ribuan orang.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga, sekarang
juga"
Sutadi masih melongo.
"Tiup lilinnya, Sutadi" rayu Mak Mumun meyakinkan Sutadi untuk
meniup lilin.
Sutadi meniup lilin, namun wajahnya
masih melongo!
Perlahan dia mulai bisa menerima uluran
jabat tangan dari Bupati. Perlahan dia mulai tersenyum, mulai menyadari apa yang
sedang terjadi.
Ya, Sutadi mulai menyadari bahwa hari
ini adalah tanggal 21 Juli. Hari ini dia ulang tahun. Tapi dia masih belum
bisa memahami kenapa Bupati yang justru memimpin perayaan ulang tahunnya?
"Aku dan Mak Mumun sudah merancang semua ini sejak 3 tahun yang lalu,
Sutadi. Aku dan Mak Mumun hanya ingin memberikan perayaan ulang tahunmu yang
tidak terlupakan, sekaligus untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kamu adalah tukang
becak yang memiliki ketulusan dan keteguhan dalam memperjuangkan harga
diri" terang Bupati.
"Ja...ja..ja..jadi selama ini...ha..ha..nya..rekayasa?" kata Sutadi terbata-bata.
"Ja...ja..ja..jadi selama ini...ha..ha..nya..rekayasa?" kata Sutadi terbata-bata.
****selesai****