Pak Roso dan Bu Roso
Pak
Roso (nama sebenarnya) gelisah karena tumben jam segini istrinya belum pulang
dari arisan, padahal arisan cuma di rumah Bu Yadi (nama sebenarnya) yg nggak
terlalu jauh dari rumah.
Pak
Roso mencoba telpon tp gak diangkat, di-SMS pun gak dibalas. Pak Roso semakin
gelisah.
Pak
Roso memahami kalo istrinya adalah ketua kelompok arisan yg mestinya banyak yg
harus diurusi setiap arisan, "tapi nggak begini juga kalee!" pikir Pak Roso.
Jam sepuluh lebih dikit terdengar bunyi pagar dibuka, sepertinya itu istrinya. Dari balik jendela Pak Roso melihat istrinya datang dengan muka agak mrengut sambil membawa kotak roti berwarna coklat muda.
Jam sepuluh lebih dikit terdengar bunyi pagar dibuka, sepertinya itu istrinya. Dari balik jendela Pak Roso melihat istrinya datang dengan muka agak mrengut sambil membawa kotak roti berwarna coklat muda.
Belum
sempat Pak Roso bertanya, istrinya sudah nyerocos.
"Wong edan, jadi warga di kampung ini aja baru kemaren sore sudah banyak
bicara" cetus Bu Roso (karena Pak Roso nama sebenarnya, jadi tentu saja Bu
Roso juga nama sebenarnya).
"Sopo?" tanya Pak Roso.
"Iku
lho, Bu Ghofur" jawab Bu Roso.
(Bu
Ghofur nama sebenarnya)
"Kenapa
Bu Ghofur?" tanya Pak Roso sambil nyruput
kopi merek ACB.
"Pengurus
kelompok itu kan punya rencana jalan2, kayak taun2 kemaren. Lha kok moro2 Bu Ghofur itu gak setuju. Lagian
yg nggak setuju itu lho cuman dia" ketus Bu Roso sambil melepas jilbabnya.
"Lha,
kok begitu?" tanya Pak Roso.
"Ya
nggak tau, kok malah tanya aku!" Bu Roso semakin ketus.
"Emang
mau jalan2 kemana sih?" tanya Pak Roso.
"Belum
tau, belum dibahas. Gimana mau mbahas, wong
dia buru2 gak setuju" jawab Bu Roso sambil makan roti yg dia dapat dari
arisan tadi.
"Mmm, nggaaakkk enak!" ucap Bu Roso sambil ngelepeh roti yg baru digigitnya.
"Terus
bu?" tanya Pak Roso.
"Kita
itu kan punya dana sosial yg nganggur, gak pernah dipake. Sudah lama gak ada
anggota yg sakit, yg meninggal juga gak ada. Jadi dana itu utuh. Kayaknya juga
gak ada anggota yg akan sakit, semuanya sehat" Bu Roso mencoba menjelaskan.
"Daripada
nganggur begitu kan mending dipake. Nah, aku usul dibuat jalan2 saja. Rombongan
sekampung gitu, ke batu kek, atau ke trawas kek. Itu kan juga bagus untuk
keakraban warga" lanjut Bu Roso.
"Emang
gak ada dana yg lain?" tanya Pak Roso.
"Kok
pertanyaanmu kayak Bu Ghofur sih?" sergap Bu Roso.
"Dana
sosial itu dana fleksibel pak, bisa dipake apa aja asal disetujui sama
pengurus. Lha kalo emang nyata2 nganggur, kan mending digunakan" terang Bu
Roso dengan nada agak tinggi.
"Lagian
jalan2 itu kan juga untuk warga juga. Keakraban. Sosial juga itu!" lanjut Bu Roso dengan nada yang tetap agak tinggi.
"Halah,
paling2 itu karena dia gak bisa naik mobil. Dasar kampungan!" curiga Bu
Roso sambil memircingkan mata.
"Yo
nggak bisa begitu juga bu. Dana sosial itu kan memang untuk jaga2 kalau2 ada
warga yg kesusahan: sakit, kepaten, atau kesulitan lainnya" tanggap Pak
Roso dengan hati2.
"Kan
gak semua warga di sini orang mampu" lanjut Pak Roso.
"Kok
kamu tambah mirip Bu Ghofur sih?" sergap Bu Roso.
"Bukan
begitu bu. Kalo mau jalan2 mestinya kan pake dana yg lain saja. Atau bisa juga
urunan gitu" Pak Roso mulai gugup dengan reaksi istrinya.
"Halah,
orang sini mana mau disuruh urunan, opo
maneh buat nglencer!" bantah Bu Roso.
"Lha
kalo gak mau urunan ya gak usah nglencer" Pak Roso mencoba menenangkan istrinya.
"Lha mangkane pak, pake dana sosial saja
biar bisa nglencer. Nek gak ngono gak iso nglencer. Sampean iku
kok mbulet ae ket maeng!!" sergap Bu Roso.
"Bukan begitu bu. Kita memang gak bisa paksa warga untuk urunan, tapi dana
sosial jg gak bisa diutak-atik, apalagi untuk nglencer begitu!" Pak Roso keprucut bicara.
"Mbooh pak, sak karepmu! Sampean turu
nang njobo ae pak!!" ketus Bu Roso mengakhiri pembicaraan sambil
melenggang masuk kamar dan menutup kamar keras2.
"Guubbbrrrrraaaaakkkkkk!!!"