Demokrasi,...eh...Pemilu Itu...

5 tahun yang lalu, dan 5-5 tahun sebelumnya, aku biasa aja mengikuti pemberitaan tentang pemilu. Aku gak terlalu pusing dgn siapa yg jadi pemenangnya. Tapi gak tau kenapa, sekarang aku agak peduli.

Dari situ aku belajar banyak tentang demokrasi, eh...pemilu.

Paksa pilih
Hidup itu pilihan. Dalam demokrasi juga begitu, harus memilih. Pilihan itu-lah yang akan menentukan nasib kita 5 tahun kedepan. Katanya sih begitu.

Masalahnya, kita hanya boleh memilih satu diantara ratusan pilihan. Hanya satu. Tidak boleh dua, apalagi lima. Ini yg kadang bikin dilema.

Padahal disitu ada kenalan, tetangga, teman sekolah, teman main bola, atau malah sahabat karib. Lalu bisa juga ada saudara, keponakan, sepupu, atau bisa jadi ada mertua. Lalu bisa juga ada guru sekolah, guru mengaji, atau guru les privat. Lalu ada juga artis idola. Semua bisa jadi ngumpul di satu kertas suara.

Tapi kita hanya boleh milih satu. Ya, satu!

Mau milih yg ini, gak enak sama yg itu. Mau milih yg itu, kasihan yg ini. Serba salah. Akhirnya bonda-bandi aja...

Coblos atau suara
Tidak semua warga negara punya hak suara. Hanya warga negara yg sudah cukup umur dan yg memenuhi syarat yg punya hak suara. Benarkah begitu ?

Jangan dibayangkan di dalam bilik suara ada pengeras suara, apalagi perekam suara. Gak ada. Yg ada hanya bantalan dan alat coblos. Jadi, kita gak bisa bersuara di bilik suara.

Bisa sih nekat bersuara, tapi itu gak ada gunanya. Gak ada yg dengerin. Gak ada yg catet. Bisa2 malah dimarahin petugas, karena mengganggu pemilih yg lain.

Di situ aku sadar bahwa aku ternyata gak punya hak suara. Cuman hak mencoblos. Jutaan orang indonesia juga begitu.

Harusnya masyarakat benar2 bisa bersuara, jadi aspirasi pemilih benar2 jelas dan akurat. Bukan cuman coblos, yang multitafsir dan rentan disalahartikan partai politik.

Seperti sekarang ini, mereka seenaknya saja mencari mitra koalisi dan menentukan pasangan capres-cawapres. Tidak peduli apakah pemberi coblosan setuju atau tidak.

Padahal bisa jadi orang memilih A karena tidak suka B, bahkan anti dengan B. Eh lha dalah, kok setelah pemilu, A dan B kok malah berkoalisi. Mesra.

Sial, tau gitu gak nyoblos A.

Mikir gak mikir, sama
Demokrasi itu buta, gak bisa membedakan orang berpendidikan atau tidak. Rasional atau tidak. Semua punya nilai yg sama, yakni satu suara...eh...satu coblos.

Sepintar apapun dan serasional apapun pilihan seseorang, nilainya akan sama dengan pilihan orang yg tidak rasional. Profesor sama yg gak sekolah itu sama di mata demokrasi. Kyai sama residivis juga sama.

Kadang kasihan juga lihat caleg2 yg berkampanye sampai berbusa2 untuk meyakinkan calon pemilih. Segudang teori2 dan janji2 politik dia teriakkan sedemikian rupa agar nampak meyakinkan. Tapi ternyata dapatnya cuman suara seuprit.

Padahal caleg2 yg lain bisa dapat suara jauh lebih banyak dengan tanpa banyak bacot. Cukup kerahkan konser dangdut, bagi sembako, dan tentu saja, duit!



Komentar