Les Bu Cok

Semua memanggilnya bu Cok. Tapi aku tak sempat bertanya, atau mencari tau, siapa nama lengkapnya hingga ia punya nama panggilan seperti itu. Nama yg kurang lazim. Di surabaya, "cok" lebih sering diucapkan sebagai makian daripada menjadi sebuah nama. Meski bunyinya agak berbeda..
.


Namanya cukup dikenal di kampungku, Simo dan sekitarnya, sebagai guru les dgn spesialisasi siswa SD kelas 6. Punya ratusan siswa dari berbagai SD. Punya reputasi banyak alumninya banyak diterima di SMP favorit. SMP Negeri. Dan itu sudah terbukti bertahun2. Entah sejak kapan.
.
Rupanya ibuku tergiur dengan reputasi itu. Didaftarkan lah aku di tempat les bu Cok. Siapa tau anaknya jadi pintar beneran. Daftarnya mudah. Tidak mahal, Cukup menyumbang kursi. Kursi itu bukan untuk bu Cok, tp untuk tempat duduk siswa les sendiri. Ada uang bulanan, tapi aku lupa berapa.
.
Bu Cok tidak terima mentahan. Harus kursi. Kursinya pun sudah ditentukan bentuk dan warnanya. Kursi plastik dengan sandaran. Harus warna merah. Kenapa harus merah, tidak ada yg tau. Beli dimana, terserah. Yg penting bentuk dan warnanya sesuai.
.
Les dilakukan 3 kali dalam seminggu. Ketika aku mulai ikut les, sudah ada banyak peserta yg mulai les. Aku masuk di pertengahan. Diantara puluhan anak, aku hanya mengenal beberapa saja. Tidak lebih dari 5. Selebihnya adalah anak2 dari sekolah lain yg bahkan aku tak tau dimana. Ada yg SD negeri, ada juga yg swasta. Yg bermata sipit dan berkulit putih cukup banyak. Tp ada juga yg lokal.
.
Cukup lama aku perlu beradaptasi di tempat les itu. Selain karena peserta baru, itu adalah lingkungan baruku di luar teman sekampung dan teman sekolah. Lingkungan multi etnis pertamaku. Aku sempat merasa paling bodoh di tempat itu. Ada perasaan minder. Rendah diri. 
.
Hampir setiap les bu Cok memberikan soal2, yg harus dikerjakan saat itu juga. Tidak pernah ada PR. Semua pelajaran ada, kecuali agama dan bahasa daerah.
.
Setelah waktu habis, peserta les saling tukar lembar jawaban untuk saling mengkoreksi. Lalu bu Cok memberikan jawaban masing2 pertanyaan di papan tulis. Kadang didektekan. Yg tidak perlu ada penjelasan akan langsung ke pembahasan soal berikutnya. Jika ada yg perlu dijelaskan, atau kalau ada yg bertanya, bu Cok baru jelaskan cara dan jawabannya.
.
Di situlah, otomatis semua anak menjadi tau, mana jawaban yg benar dan salah. Tanpa merasa digurui. Mereka termotivasi untuk memastikan jawaban temannya salah, dan memastikan jawabannya dibenarkan. Disinilah seru-nya les di bu Cok. Seperti permainan. Sering terjadi perdebatan kocak. Masing2 memperjuangkan jawaban masing2, sambil menjatuhkan jawaban temannya. Saling protes.
.
Begitulah proses belajar di tempat les bu Cok. Sebagian soal sengaja ditanyakan ulang, atau dikembangkan, di hari berikutnya. Sebagian yg lain adalah soal2 yg baru. Jika ada yg masih belum jelas, bu Cok akan kembali terangkan cara dan jawabannya. Dengan sabar, dan suara yg keras dan lugas. 
.
Dalam sehari, bu Cok bisa memberikan 100an soal. Sepertinya sudah disiapkan stok pertanyaan yg melimpah. Tidak ada yg mengeluh, karena biasanya sebagian dari soal2 itu adalah soal2 yg diulang atau dikembangkan dengan rekasional yang dimodifikasi. Jadi, banyak yg sudah tau jawabannya, bahkan sebelum bu Cok selesai membacakan soal.
.
Orientasi bu Cok bukan ulangan sumatif atau THB, apalagi ulangan harian: tapi ebtanas. Pragmatis. Tapi efektif.
.
Banyak teman2ku yang akhirnya masuk SMP negeri. Sayangnya... aku tidak.
.

Komentar