Sulitnya Berburu Keadilan

Banyak orang yang begitu percaya bahwa pengadilan adalah tempat yg sangat ideal untuk menegakkan hukum dan menemukan keadilan. Dermaga harapan keadilan, katanya.

Pertarungan antara JPU dan penasehat hukum atau penggugat dan tergugat di depan majelis hakim, adalah cara yg terbaik untuk menguji sebuah kebenaran. Hingga pada suatu titik, sampailah pada frase 'terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah (atau tidak bersalah)' keluar dari mulut majelis hakim sebagai penanda bahwa hukum telah ditegakkan dan kebenaran telah terungkap.

Tapi percayalah, bahwa proses menuju frase 'terbukti secara meyakinkan' itu banyak terjadi proses2 yg tidak selalu meyakinkan. Artinya 'terbukti secara meyakinkan' itu tidak selalu sepenuhnya meyakinkan.

Yg pertama dan utama, tentu saja, adalah persoalan integritas. Tapi aku tidak pengen menulis itu di sini. Selain sudah terlalu banyak menulis, persoalan integritas ini memang gak akan ada habisnya dibicarakan, eh ditulis.

Mulai dari hakim tilang, hingga hakim agung. Mulai dari jaksa perkara pencurian sandal, hingga jaksa kasus penggelapan pajak. Mulai dari polisi bintara, hingga polisi berbintang. Mulai dari pengacara pokrol sampai pengacara corporate. Mereka semua pernah punya masalah dgn integritas.

Nyatanya ada banyak persoalan non-integritas yg juga sangat mempengaruhi jalannya proses menuju frase ‘terbukti secara sah dan meyakinkan’. Namun rasa2nya tidak ada yg peduli, karena dianggap persoalan non-integritas adalah persoalan sepele.


Kebanyakan Kasus
Dalam suatu kesempatan, seorang hakim bisa menangani hingga 25-50 kasus sekaligus dalam sehari. Terkadang pidana semua, kadang perdata semua, terkadang kedua2nya.

Diantara beban kerja seperti itu, hakim dituntut untuk mencurahkan seluruh perhatiannya pada semua kasus secara berimbang.

Tentu itu tidak mudah, apalagi setiap kasus memiliki detail yg berbeda2. Belum lagi tumpukan dokumen2 yg bertumpuk2 yang mestinya dipelajari, setidak2nya dibaca. Belum lagi, hakim juga sering kali disibukkan dengan kegiatan2 non-hakim, seperti tuntutan kenaikan gaji!

Fakta itu membuat aku meragukan stamina sang hakim dalam memahami hal2 detail di setiap kasus. Aku meragukan mereka membaca lembar demi lembar dokumen2 yg ada, lalu melibatkan hati nuraninya dalam mengambil keputusan. Mana sempat?

Meskipun ia tangguh di level integritas, tapi jika rendah dalam intensitas dalam memahami perkara, efeknya juga akan podo wae!

Jam Terbang
Tidak semua hakim memiliki jam terbang yg tinggi, begitu juga jaksa dan pengacara. Namun tuntutan pekerjaan (dan kebutuhan dapur mengepul), mereka dipaksa untuk menyelesaikan kasus apapun yg mereka tangani.

Terkadang hakim yg biasa menangani kasus pencurian sandal dan togel, tiba2 dia harus menangani kasus sengketa yayasan atau cyber crime. Ada juga pengacara yg biasa menangani kasus perceraian, tiba2 dapat rejeki pegang kasus kepailitan.

But the show must go on. Perkara harus tetap ditangani, dengan segala keterbatasan. Lagipula mereka sudah dianggap ahli hukum, orang yg dianggap tahu semua hal tentang hukum. Padahal di belakang, mereka sibuk cari2 buku, tanya sana2i hingga googling semalam suntuk.

Namanya juga masih belajar, pemahaman mereka masih gruthal-grathul. Bahasa gaulnya: jurus dewa mabuk. Tentu saja mereka tdk mau menunjukkan hal itu, mereka akan terus jaim (jaga jaim, eh jaga imej).

Untuk menutupi itu, biasanya nada bicara dilambatkan sambil sesekali memrengutkan dahi biar kelihatan sangat serius, atau mendekhem biar kelihatan seperti pemikir, atau ada juga yg sengaja pake istilah2 aneh biar kelihatan keren.

Namanya juga masih belajar, resiko salah memutus sangatlah besar. Tapi mereka tidak peduli. Kalo gak terima dengan putusan, silahkan melakukan upaya hukum. Gitu aja kok repot!

Bukan Film India
Jika anda adalah penggemar film2 india, aku yakin anda membayangkan sidang2 di pengadilan itu seperti di film2 india, seru dan dramatis. Tapi anda salah!

Persidangan berjalan sangat-lah membosankan. Tidak ada perdebatan frontal antara penggugat dan tergugat atau jaksa dgn penasehat hukum. Perdebatan hanya dilakukan secara tertulis, itupun jarang dibacakan di persidangan.

Sidang sering hanya berjalan 2-4 menit, lalu ditutup.

Pemeriksaan saksi pun juga sering dilakukan datar2 saja, bahkan terkadang kelihatan buru2. Mungkin karena ada jadwal sidang yg lain, ato ruang sidang mau digunakan sidang yg lain ato mungkin memang tidak ada yang menguasai materi perkara.

Ini sering terjadi pada kasus2 kelas teri atau perkara2 kering, seperti togel, pencurian, asusila, ato perkara gugatan waris 5 jt atau sengketa tanah 10 meter persegi.

Rumusnya: tingkat perjuangan mencari kebenaran tergantung seberapa berat gizi yg terkandung dalam perkara!

Menunggu
Semua orang tahu bahwa waktu adalah uang. Jika pepatah itu masih berlaku, maka sesungguhnya telah terjadi penghambur2an uang secara besar2an setiap hari di pengadilan.

Pencari keadilan berserakan di pengadilan untuk melewati bagian terbesar dalam perjuangan menemukan keadilan, yakni: menunggu!

Tidak ada jadwal sidang yg berlaku di dalam pengadilan. Jam yang dipajang hanya untuk membantu para pencari keadilan untuk menghitung sudah berapa lama dia telah menunggu di pengadilan.

Banyak orang yg frustasi menjalani persidangan di pengadilan, kecuali orang2 yg memang hobinya berserakan di pengadilan.

Tidak ada jadwal sidang yg benar2 ditepati. Bahkan, sering kali harus menunggu hingga menjelang maghrib untuk sidang yg dijanjikan katanya dimulai jam 9 pagi.

Kadang jaksa sudah datang, paniteranya yg belum muncul. Begitu paniteranya datang, hakim anggota masih ada acara penyambutan ketua pengadilan yg baru. Begitu hakim anggota datang, hakim ketua lagi sidang perkara lain. Begitu hakimnya lengkap ruang sidang masih digunakan sidang perkara lain. Begitu sudah siap semua, sudah adzan maghrib!

Kucing2an ini bukan persoalan sepele, karena sidang hampir selalu dilakukan ketika pencari keadilan sudah frustasi tingkat tinggi karena menunggu begitu lama. Apa yg bisa diharapkan dari orang2 yg sudah frustasi seperti ini? Kebenaran macam apa yg bisa diperjuangkan oleh orang2 yg sudah depresi?

Malpraktek
Terkadang kasus jatuh pada orang yg tidak tepat. Meskipun di atas kertas sepertinya bisa menang mudah, tapi karena perkara jatuh pada orang yg salah, perkara itu bisa saja kalah.

Tidak semua pengacara mampu menuangkan argumentasi2 hukumnya dalam gugatan atau dokumen hukum lainnya dengan tepat dan strategis. Ada persoalan teknis yg terkadang justru lebih menentukan dari pada penguasaan materi hukumnya sendiri.

Mungkin karena terlalu semangat menggugat agar kelihatan punya jam terbang tinggi, pengajuan gugatan dilakukan asal2an. Nanti kalo kalah, dia bilang "...kita korban mafia peradilan!"

Barang Bukti
Dunia peradilan selalu percaya bahwa suatu kejahatan selalu meninggalkan jejak (baca: barang bukti). Entah itu saksi, surat atau bukti2 lainnya.

Masalahnya sekarang banyak orang sudah yg melek hukum hingga dia tahu apa yg mesti dilakukan untuk mengakali hukum, agar tidak meninggalkan jejak. Rumusnya: minimalkan bukti surat, rangkul saksi2!

Begitu masuk di pengadilan, pengungkapan menjadi tidak lagi mudah karena tidak adanya bukti, apalagi saksi2.

Hatu nurani bisa jadi sangat haqul yakin si fulan bersalah, tapi tanpa bukti, keyakinan itu hanya omong kosong. Persoalannya bukan terletak pada kesulitan mendapatkan bukti, tapi karena si fulan sudah mempersiapkan banyak hal untuk tidak meninggalkan jejak.

Inilah bentuk konkrit penyalahgunaan melek hukum!

Panitera
Panitera adalah salah satu aktor utama yg tidak banyak diperhitungkan dalam pemantauan aktivis2 peradilan. Mungkin karena dianggap kewenangan panitera itu gak penting dan terlalu teknis, yaitu: mencatat.

Tapi rasa2nya itu adalah 100.000% salah! (sebelum redenominasi)

Tapi rasa2nya itu adalah 100% salah! (pasca redenominasi)

Cobalah sekali2 datang ke pengadilan lihat persidangan. Persidangan apapun. Coba perhatikan panitera yg duduk di sebelah kiri meja majelis hakim. Perhatikan tatapan matanya dan gerakan tangannya.

Mereka lebih banyak termenung dan melamun, bahkan terkadang sibuk sms-an (atau maen fesbuk). Sekali2 dia nampak menulis, tapi rasa2nya tidak sebanding dengan banyaknya keterangan saksi2.

Di tengah2 'pertengkaran' antara penggugat dan tergugat, mereka tidak nampak sibuk mencatat. Mereka hanya mencatat apa2 yg mereka anggap penting saja. Persoalan itu penting buat penggugat atau tergugat, itu bukan urusan panitera.

Masalahnya adalah buaanyak hakim yang tidak rajin mencatat jalannya persidangan. Mereka sangat mengandalkan catatan panitera. Lha kalo catatan paniteranya ngaco, bisa dipastikan putusan hakim juga ngaco!

Panitera macam begini tidak melulu mengindikasikan adanya permainan kotor, bisa juga karena memang dia adalah masuk kualifikasi sebagai panitera males.

Jadi, panitera tanpa integritas dengan panitera males punya efek yg sama: putusan hakim yang ngaco!

Panitera 2
Ini yang aneh tapi nyata, banyak disangkal tapi nyatanya eksis.

Karena hakim terlalu sibuk, hakim menjadi tidak punya banyak waktu untuk merumuskan detail putusan sendiri. Mereka hanya sempat membuat catatan2 kecil, yang disebutnya sebagai inti sari putusan. Selanjutnya, panitera yang sibuk menyusun detail pertimbangan2 hukum berdasarkan catatan2 kecil dari sang hakim.

Terkadang catatan2 kecil itu benar2 kecil (baca: sedikit), sehingga terlalu banyak yang musti dibuat si panitera. Efek terkecil biasanya si panitera hanya nggrudel, efek terbesar adalah akurasi pertimbangan hukumnya yang ngaco, efek terburuk adalah si panitera bisa bermain2 dengan isi putusan.

Mungkin inilah kenapa panitera sering “mendapat” lebih banyak daripada sang hakim.