ARTIFISIALISME SANG HAKIM

Menjadi seorang hakim memang tidak mudah, dia tidak saja punya kekuasaan mengatur jalannya sidang, dia juga diberikan palu kewenangan untuk memutuskan mana yang benar mana yang salah. Bukan main pekerjaan hakim ini. Gajinya jauh di atas UMR, tapi konon banyak hakim yang masih suka main mata untuk cari komisi tambahan.

Hakim menjadi perangkat keadilan yang vital, di samping polisi, jaksa dan advokat. Namun di ruang sidang kedudukan hakim sangat dominan, dengan kewenangan yang besar dalam menemukan keadilan. Mestinya kedudukan hakim dengan penegak hukum yang lain adalah setara hanya fungsinya saja yang berbeda, namun faktanya hakim sering menempatkan dirinya lebih superior dari penegak hukum lainnya.

Ketika hakim masuk ruang sidang, semua penegak hukum harus berdiri. Ketika hendak berbicara, harus didahului dengan “Yang mulia…” atau setidak-tidaknya “Majelis yang terhormat…”. Kita tidak bisa seenaknya memotong pembicaraan hakim, juga tidak bisa berbicara panjang lebar seenaknya apalagi kalau sang hakim sudah mengetukkan palunya. Konon jika sang hakim menggunakan palu untuk menghentikan pembicaraan kita, itu tandanya sang hakim telah murka.

Kita bisa berbusa-busa menyampaikan pikiran kita baik lisan maupun secara tertulis, jika hakim tidak berkenan busa-busa itu tidak ada artinya.

Namun sesungguhnya hakim tetaplah manusia, ada yang baik ada yang buruk, walaupun nampaknya jumlahnya saat ini tidak lagi berimbang. Upaya-upaya perbaikan mungkin sudah banyak dilakukan, tapi bukannya memperbaiki diri, banyak hakim yang justru ‘memperbaiki’ strategi permainan agar tidak terjerat hukum.

Hakim idaman, memimpin sidang dengan cool namun tegas. Gaya bicara santun, tapi tidak bisa diarah-arahkan. Tatap matanya dingin, tapi jangan coba-coba memprovokasi. Bahasa tubuhnya minimalis  menimbulkan banyak penafsiran.  Kualitas putusannya layak untuk dijadikan rujukan, karena tidak terkungkung kebenaran formalitas.

Di luar pengadilan, gaya hidupnya sederhana. HPnya model lama, mobilnya jadul, ada juga yang hanya pakai sepeda motor matik, bahkan ada yang naik kendaraan umum. Rumahnya tipe 40an atau paling-paling rumah dinas. Tapi jangan coba-coba menyuap model hakim seperti ini. Bahkan membuka sinyal-sinyal frekuensi untuk main mata, saya sarankan jangan.

Secara fisik nampak biasa-biasa saja. Rambut tidak klemis dan sedikit beruban. Kalau pakai jilbab, bahan kainnya banyak dijual di pasar malam. Sepatunya terbuat dari bahan kulit imitasi, tidak terlalu mengkilat tapi tetap kelihatan bersih.

Ada juga yang bilang, jika ingin menilai hakim maka nilailah keluarganya. Kebahagiaan dan kesederhanaan kehidupan keluarga sang hakim, bisa dijadikan salah satu ukuran kualitas sang hakim. Istri dan anak-anak yang santun, berpendidikan dan religius, menunjukkan sang hakim bukan saja mampu memimpin di ruang sidang, tapi juga mampu membimbing keluarga.

Dia hanya memiliki satu rekening, dengan jumlah yang tidak terlalu banyak. Pekerjaan istri  sama sekali tidak ada hubungannya dengan hukum dan pengadilan, aktif di kegiatan-kegiatan social. Anaknya berprestasi di sekolah, bergaul dengan wajar, jauh dari narkoba dan pergaulan bebas.

Itulah tipikal hakim yang berwibawa. Memang tidak banyak di negeri ini, mungkin bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

Sebaliknya, yang saat ini banyak beredar adalah model-model hakim yang berusaha setengah mati menampak-nampakkan dirinya seperti hakim berwibawa. Bagi yang belum terbiasa mungkin kelihatan kaku, tapi bagi yang senior menampak-namakkan kewibawaan telah menjadi kebiasaan sehingga nampak kelihatan alami.

Konon, untuk tidak terlihat kaku, sang hakim tidak segan-segan mengikuti kelas khusus latihan kepribadian, tentu saja dengan menggunakan anggaran negara.

Tapi untuk menilai hakim, jangan berhenti di sini, lihatlah aksesoris yang dipakai, mulai dari kemeja, jas/blazer, celana, dasi, ikat pinggang, perhiasan, HP, gadget, sepatu, mobil hingga parfum. Jika semua nampak up to date dan kelihatan bukan barang murahan, ini menjadi pertanda awal bahwa hakim memiliki budget khusus yang tidak sedikit untuk aksesoris-aksesoris ini.

Sang hakim sering kali menegur kalau para pihak terlambat datang atau menunda sidang, tapi kalau dia yang terlambat tidak ada permintaan maaf, pura-pura tidak menyadari keterlambatannya. Jika sudah menjelang sore, tensi darah sang hakim meninggi gampang marah dan semakin sensitif.

Kadang sangat emosional menanggapi masukan para pihak yang tidak sejalan dengan kemauan dia,lalu tetap meneruskan persidangan seperti yang dia mau. Masukan atau pendapat bisa dianggap menggurui, karena dia merasa tidak perlu dan tidak dapat digurui. Capaian menjadi hakim dianggap sebagai bukti bahwa dia lebih pintar dari semua orang.

Hakim begini biasanya memiliki riwayat silsilah keluarga hakim, entah itu bapaknya, ibunya, pamannya, iparnya, sepupunya atau mertuanya. Bisa jadi hal ini adalah kebetulan, tapi tentu yang namanya kebetulan tidak bisa terlalu banyak. Kalau tidak percaya, silahkan bikin penelitian tentang hal ini, dan lihatlah hasilnya.

Meskipun dia tidak vulgar menunjukkan sikap minta disuap, tapi siap-siaplah menerima sinyal-sinyal main mata dari orang lain. Bisa dari panitera atau petugas pengadilan, bahkan kadang bisa datang dari suami atau istri sang hakim yang ‘kebetulan’ menjadi hakim di pengadilan yang sama.

Dia tidak segan mengeluarkan putusan yang aneh dan ajaib, dan melawan logika nurani. Kalau dipertanyakan tentang putusan ini, sang hakim akan bilang dengan enteng “silahkan melakukan upaya hukum”. Kalau dituduh ada permainan, sang hakim akan bilang “itu adalah fitnah dan pencemaran nama baik”.

Memperhatikan habits sang hakim kadang lebih menarik, karena kita ditantang untuk bisa melihat dari apa yang tidak nampak. Di sini kita ditantang untuk cermat memperhatikan mana yang artificial dan mana yang orisinil. Butuh keterampilan dan jam terbang untuk tidak terjebak pada tingkah laku artificial sang hakim.

Komentar