(Bukan) Tukang Sampah

Pagi yang cerah, seperti minggu kemarin, anakku mengajakku untuk jalan pagi, berkeliling sekitar rumah. Kebetulan ada beberapa rumah di sekitar rumah yang memelihara binatang. Mulai dari ayam, monyet, angsa, anjing, burung dara hingga kuda. Anakku suka sekali.

Selama perjalanan, dia begitu berisik. Semua dia komentari, dan banyak bertanya. Terkadang diulang-ulang. Ya, sabar saja...

Tiba di sebuah jalan, di ujung sana nampak seorang laki-laki tua berbaju kumel bercelana dekil sedang bersusah payah menarik gerobak berisi penuh sampah-sampah. Dia harus mengerahkan lebih banyak tenaganya untuk bisa melalui gundukan polisi tidur yang banyak dipasang oleh warga.

Dari jarak sekitar 500 meter, bau khas sampah telah nyampe di batang hidungku yang tidak mancung ini.

“Ooo itu bebek angsa mama, yang itu bebek angsa bapak. Bebek angsa anak dimana ? Ooo masih tidul dia, di lumahnya...bla...bla...bla...” celoteh anakku yang nampaknya belum menyadari bau itu.

Laki-laki itu semakin dekat, semakin jelas raut mukanya yang nampak menahan berat menarik gerobak yang mungkin beratnya 50 atau 100 kilo dengan tanpa alas kaki, tanpa sarung tangan, tanpa penutup hidung.

Hanya lalat-lalat hijau yang setia menemani laki-laki itu.

Di bagian bawah nampak menetes rembesan air berwarna keruh, mungkin dari makanan basi. Atau rembesan dari pembalut wanita bekas. Atau dari bangkai tikus. Entahlah, yang jelas baunya memang luar biasa!

Bukan, ini bukan tukang sampah
“Yyeeekkkk, usuk!!” celetuk anakku dengan lantang.

Aku hanya bisa menarik anakku agar berjalan lebih cepat, agar tidak terus berkomentar. Mudah2an laki-laki itu tidak mendengar celetukan itu.

Tapi rasa-rasanya laki-laki itu mendengar, dan mungkin dia sudah sering dan terbiasa mendengar celetukan dan perlakuan yang tidak enak.

Ketika laki2 itu mulai melintasi sebuah perkampungan, setiap orang yang terlintas refleks menutup hidung. Sebagian menggerutu, menggumam “uwweekkk busuk!!”, bahkan sampai muntah.

Tidak ada satu pun yang menyapa, apalagi menanyakan kabar.

Ketika muatan telah sangat penuh, dan laki-laki itu mulai merasa payah melalui gundukan polisi tidur, tidak ada juga yang membantu karena jijik.

Tapi ketika sehari saja laki-laki itu terlambat mengambil sampah, beribu komentar dan prasangka ditujukan laki-laki itu. Malas-lah, gak niat-lah, cari obyekan lain-lah, nuntut honor lebih-lah, dan lain-lain.

Nyaris tidak ada yang berprasangka mungkin laki-laki itu sedang sakit. Mungkin sakit perutnya, mungkin kakinya kena beling, mungkin asmanya kumat, atau yang lainnya.

“Sandy, kalau ada tukang sampah tidak boleh ngomong begitu” kataku setelah agak jauh dari laki-laki itu.

“napa?” anakku balik tanya.

Nah, ini yang aku maksud...
Aku tidak menyangka dia akan balik tanya. Aku punya jawabannya, tapi rasa2nya dia masih terlalu kecil untuk memahami jawaban ini :

“Laki-laki itu adalah orang yang terhormat. Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi pengemis, daripada menjadi tukang sampah."

"Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi penjilat daripada menjadi tukang sampah"

"Banyak orang merasa lebih terhormat menjadi tukang pungut duit rakyat daripada pungutin sampah”

“Laki-laki itu bekerja tanpa pernah mengeluh sebusuk apapun sampah yang kita buang”

“Laki-laki itu juga tidak pernah marah ketika banyak orang merendahkannya, meski ia tidak pernah minta untuk dihormati”

“Laki-laki itu juga tidak pernah protes kenapa dia disebut sebagai tukang sampah, padahal pekerjaannya adalah membersihkan sampah”

Ya, aku rasa dia belum bisa mengerti jawaban itu.

“Pokoknya tidak boleh” jawabku sekenanya.

“Ote...ote...” jawab anakku.

Aku anggap dia sudah mengerti.