Oh...Gunung Komuter

Aku pernah naik gunung, tapi aku nggak pantas disebut anak gunung. Hanya ada 2 gunung yg aku pernah naiki sampai puncak: panderman dan bromo. Itupun kalo dunia sepakat panderman dan bromo adalah gunung.

Sebenarnya aku jg pernah naik raung, kawi, dan semeru; tapi sayangnya nggak sampai puncak. Di raung terpaksa harus turun lagi karena tiba2 cuaca buruk, padahal puncak raung tinggal beberapa meter lagi. Di kawi, nggak sampe puncak karena tersesat di tengah hutan.



Di semeru juga pernah, tapi cuman sampai di tanjakan cinta dan nginep di ranu kumbolo. Di situ aku ngiler, melihat puncak mahameru sudah di depan mata. Bagai pungguk merindukan bulan.

Istriku lebih pantas disebut anak gunung. Dia pernah ke puncak argopuro, arjuno, bahkan mahameru!

Dia sering menertawaiku tentang hal ini. Aku hanya tersungging, mengakui kehebatannya. 

Tapi aku tetap bersyukur setidaknya pernah naik gunung, meski tak sebanyak dan setinggi istriku. Ada pelajaran yg bisa aku kenang sampai hari ini, tentang arti sebuah ketangguhan.

Dengan beban kira2 20-30 kilo di punggung, aku harus terus berjalan di tanjakan yg kadang landai, kadang terjal. Kadang kedinginan, kadang kepanasan. Kadang berjalan, kadang harus berlari, melompat, bahkan merangkak. Makan minum seadanya. Itupun harus berbagi dengan kawan. 

Di gunung, mengeluh itu percuma. Namanya juga naik gunung, capek itu udah pasti. Kalau nggak mau capek, tidur aja di rumah atau nonton mahabarata sambil makan terang bulan.

Temanku pernah bilang, sebut saja inoey, kalau naik gunung itu nggak usah buru2. Dinikmati saja.

Kalau capek ya istirahat. Kalau lapar ya makan. Kalau haus ya minum. Kalau mengantuk ya tidur. Simpel.

Naik komuter juga begitu. Mau nggak dapat tempat duduk, duduk di pintu, berdesak2an, bau kentut, kepanasan, kereta telat berjam2, kebelet ngeseng, sampai ditinggal kereta; dinikmati saja!

Komentar