I Love You Too

Setiap orang tua pasti punya cerita hebat tentang anaknya, itulah kenapa mereka pasti ngebangga-banggain anaknya dimanapun dan kepada siapa saja. Paling tidak, setiap orang tua akan menceritakan dengan bangga kelucuan atau keluguan anaknya; seolah-olah tidak ada anak lain yang se-hebat anaknya.

Terus terang, sindrom itu juga aku alami. Selalu ada keinginan untuk menceritakan kebisaan atau kelucuan anakku. Tapi setiap akan menceritakan itu, aku selalu keduluan. Orang lain selalu lebih dulu dan lebih semangat menceritakan tentang anaknya. Huh payah!

Orang tua memang selalu subyektif!

Pose kepala miring
Itulah kenapa aku jarang menceritakan tentang anakku, tentang kebisaan anakku dan tingkah kelucuan sehari-hari. Bukan karena anakku gak bisa apa-apa, atau anakku gak lucu sama sekali alias garing. Cuman aku khawatir orang lain akan menilai dalam hatinya ‘ah, itu mah biasa kalee!’, seperti yang sering ada di benakku setiap kali orang lain menceritakan tentang anaknya kepadaku.

Karena aku agak parno untuk cerita, makanya aku tulis saja, mumpung gak ada orang di sini.

Dia sudah 3 tahun, 5 bulan lagi 4 tahun. Tidak seperti teman-teman seumurannya, dia agak susah untuk bicara dengan jelas. Setiap bicara, dia hanya menyebutkan 1-2 suku kata terakhir. Ada beberapa kata yang dia bisa ucapkan dengan jelas, misalnya mama, ayo, bola, kuda, cucu (susu maksudnya), papa (padahal maksudnya bapak) dan beberapa lainnya.

Lho lha kok mamanya yang bergaya?
Kalau dia mau berak, dia bilang ‘heyak’. Kalau dia mau minum, dia bilang ‘nyum’. Kalau aku mau berangkat ke kantor, dia bilang ‘nna?’ (maksudnya 'mau kemana?'). Kalau aku kentut, dia bilang ‘yeek, usuk!’ (maksudnya ‘yek, baunya busuk!’).

Konon, kata bapakku, aku dulu juga seperti itu, lambat bisa bicara. Parahnya lagi, kata mertuaku, istriku dulu juga begitu. Ya sudahlah, kita vonis saja itu faktor turunan.

Yang sempat bikin aku kepikiran, dia suka sekali dengan film-film kartun yang gak ada dialognya kayak Shaun The Sheep, The Owl, Bernard Beer, Oscar, Timmy Time dan beberapa yang lain aku gak tau judulnya. Ada yang kayak kuman (virus?) gitu, ada yang binatang-binatang, monyet, tawon hingga jerapah. Semuanya nyaris gak ada dialognya dan hampir semuanya di putar di jam-jam dia lagi suka-sukanya nonton tv. Trus kapan dia bisa belajar bicara, pikirku.
Ada puluhan foto dengan pose begini

Kalo lagi ada adegan konyol, kayak si Bernard diberakin sapi atau anjing di Shaun the Sheep jatuh di kandang babi ato burung hantu kejatuhan apel bom, dia pasti tertawa terbirit-birit (lari terbahak-bahak?).

Aku gak punya alasan untuk melarangnya nonton film-film itu, karena aku tahu film-film itu memang lucu, walaupun kadang-kadang ada adegan yang konyol dan bodoh. Si Bernard yang paling goblok. Kok aku jadi ikutan nonton ya…

Belakangan aku sadar, daya imajinasinya kini semakin berkembang. Dia sering memainkan mainan-mainannya seperti sedang memerankan sesuatu. Tentu saja tanpa dialog. Kadang sedang berantem, ngobrol, tertawa, menangis, terjatuh, melompat, kejar-kejaran dan adegan-adegan lain seperti yang dia tonton. Itukan artinya dia mengerti maksud adegan-adegan di film-film tanpa dialog itu.

Hebat juga anakku!!

Menurutku itu bagus. Ngapain juga anak seumur gitu dipaksa-paksa bisa membaca dan berhitung. Malah ada orang tua yang bangga setengah mati anaknya bisa menghafal nama menteri-menteri, atau lancar menyanyikan lagu dangdut. "Kuhamil duluan, cudah tiga bulan. Gala-gala pacalan tidulnya belduaan. Kuhamil duluan, cudah tiga bulan. Gala-gala pacalan gelap-gelapan...". OMG!



Ya sudahlah, aku biarkan anakku untuk terus nonton film-film tanpa dialog itu.

Anakku, I love you too.

Komentar