I Love You

Hari ini genap 4 tahun 8 bulan 3 hari, aku menikahi dia. Terlalu dini untuk mengatakan aku telah berhasil melewati getar-getir kehidupan bersamanya, yang mungkin akan terus terbentang di depan sana. Tapi percayalah, capaian ini juga layak untuk disyukuri.

Seperti rumah tangga pada umumnya, banyak kisah kebahagiaan dan kesedihan yang mewarnai perjalanku dengannya. Namun, tidak ada berubah dari dirinya, masih seperti pertama kali aku mengenalnya, spontan dan keras kepala.

Aku masih ingat ketika pertama kali dia mengurus Surat Keterangan Kelakukan Baik (SKKB, sekarang SKCK) di Kantor kepolisian untuk keperluan melamar pekerjaan. Setelah memenuhi seluruh berkas-berkas administrasi, si petugas minta ‘uang administrasi’ padanya. Entah karena dia anti korupsi atau memang dia tidak bawa uang, dia menolak membayar dengan alasan yang tidak pernah diduga si petugas.

“Lho saya yang berkelakuan baik, kok malah saya yang disuruh bayar. Harusnya negara yang harus bayar kepada saya, karena saya telah berkelakuan baik!”.

Si petugas hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia melenggang dengan membawa SKKB tanpa membayar sepeser pun.

Dia juga pernah dengan gagah berani melawan beberapa preman seorang diri! Karena terbawa emosi ingin mempertahankan sebuah rumah dari aksi penggusuran untuk pembangunan mall, dia berontak sejadi-jadinya. Seorang preman dilemparkan sebilah linggis sepanjang 1 meter sambil merobohkan pagar seng setinggi 2 meter, seorang diri! Si preman hanya terdiam.

Walaupun akhirnya rumah itu benar-benar berhasil digusur, tapi perlawanan itu tidak pernah terlupakan.

Bicara tentang perlawanan, dia juga pernah melakukan aksi mogok makan 7 hari berturut-turut untuk menentang aksi kekerasan yang dilakukan aparat polisi terhadap seorang petani di Blitar.

Sebenarnya dia tidak pernah berencana untuk bergabung dalam aksi mogok makan itu. Pagi itu dia hanya bermaksud menjenguk 7 orang teman yang melakukan mogok makan di depan Kantor Polres.

Tidak lama dia berbincang, tiba-tiba salah satu orang peserta aksi mengundurkan diri karena tidak kuat. Padahal korlap aksi mogok makan sudah terlanjur menyampaikan kepada wartawan bahwa yang melakukan aksi mogok makan adalah 7 orang, lengkap dengan nama-nama peserta aksi. Akhirnya dia ‘dipaksa’ untuk menggantikan 1 orang yang mengundurkan diri itu untuk menyelamatkan ‘harga diri’ gerakan mahasiswa.

Jadilah dia menjadi peserta pengganti aksi mogok makan itu. Yang menyakitkan, dia tidak pernah tercatat ikut aksi mogok makan itu karena wartawan terlanjur mencatat nama-nama peserta aksi mogok makan ketika aksi itu baru dimulai, termasuk nama peserta yang mengundurkan diri itu.

Kini, dia telah menjelma menjadi sekretaris pengurus PKK yang harus aktif di beberapa kegiatan PKK. Semasa kuliah dia punya banyak pengalaman organisasi, tapi untuk aktif di sebuah organisasi yang keanggotaannya ‘diwajibkan’ perempuan, tidak pernah terjadi di sepanjang hidupnya.

Baginya pengelompokan suatu komunitas/organisasi berdasarkan jenis kelamin adalah bias gender, melanggar HAM. Perempuan dan laki-laki boleh-boleh saja aktif dan bergabung di organisasi manapun yang ia kehendaki. Tapi kini ia menjadi pengurus di organisasi yang anggotanya harus perempuan! Aneh.

Belakangan ia selalu mengeluh padaku. Sudah beberapa bulan dia menjadi sekretaris PKK, tapi dia hampir tidak tahu nama-nama asli para anggota PKK, karena setiap anggota dipanggil dengan identitas nama suaminya masing-masing. Bu Makmur, Bu Choirul, Bu Mukhsin, Bu Solikin dan seterusnya.

"Ini tidak adil!!" katanya. "Kenapa perempuan tidak boleh menggunakan identitasnya sendiri. Apakah dengan menggunakan namanya sendiri, berarti mengurangi rasa cinta dan hormat pada suami" katanya lagi.

Hingga kini dia tidak tahu siapa nama asli dari Bu Solikin, padahal Bu Solikin adalah ketua PKK!

Istriku, I love you!




**Tapi kalo kamu tidak tahu nama asli Bu Choirul ya keterlaluan. Itu kan ibu-ku. Masak kamu gak tau nama mertuamu sendiri**





Komentar