Kerja, kerja, kerja!

Sebenarnya tidak diperlukan alasan khusus bagi seorang anak untuk bangga terhadap orang tua. Kebanggaan itu muncul secara alamiah, meski tanpa perlu alasan apapun!

Itulah kenapa kebanggaan thd orang tua itu seringkali terdengar sangat subyektif. Mungkin itu karena kebanggaan itu tidak selalu bisa menyentuh rasa kebanggaan orang lain.

Tapi, aku tidak peduli apakah kebangganku ini akan menyentuh kebanggaan orang lain atau tidak. Menurutku ini adalah kebanggaan yg punya alasan, punya dasar, punya argumentasi. Ya... walaupun argumentasi itu mungkin bagi orang lain tetap terasa sangat subyektif.


Mereka dilahirkan dari keluarga miskin di kampungnya masing2. Mereka bukan berasal dari keluarga yg punya latar belakang pendidikan tinggi. Mereka tidak sempat berlama2 duduk di bangku sekolah. Tidak sampai SMP, apalagi SMA. Opo maneh kuliah.

Mereka hidup di Surabaya mulai dari titik sebelum nol. Hingga kemudian bisa membangun kerajaan kecil, melebihi yg pernah mereka bayang2kan sebelumnya.

Mereka meniti setiap keping rupiah dengan cara yg sederhana yg mereka bisa lakukan. Perjalanan mencari jati diri profesi harus mereka lakukan dengan begitu panjang.

Mulai dari tukang becak, dagang krupuk hingga telur asin. Dari buruh pabrik tahu lalu jual tahu, ternak ayam hingga pabrik krupuk. Dan yg masih bertahan hingga saat ini adalah pracangan sembako di pasar.

Semua pekerjaan itu dilakukan berdua. Benar2 berdua. Dari dulu hingga detik ini. Trully romantic!

Mereka sudah berangkat ke pasar ketika belum ada satupun ayam yg berkokok. Begitu dari dulu ketika aku masih bayi, sampai hari ini. Tidak ada jam kerja dan tidak ada hari libur!

Hanya lebaran idul fitri seperti hari ini saja mereka 'cuti'. Itupun paling cuman 2 hari. Badan pegel2 katanya kalo mereka hanya dirumah seharian tidak melakukan sesuatu.

Bahkan ketika sakit, mereka merasa lebih baik tetap kerja daripada istirahat di rumah. Sakitnya hilang katanya. Tapi nanti kalo sudah pulang, sakitnya kumat lagi.

Dalam terminologi psikologi, ini disebut work addict syndrome. Dan, rasa2nya mereka menikmati itu.

Mereka tangguh untuk urusan itu, tidak cengeng meskipun dalam pencarian jati diri tersebut banyak berakhir dengan cerita kegagalan. Termasuk ketika mereka gagal membuktikan bahwa nama anak laki2nya bisa membawa hoki untuk bisnis telur asinnya. Faktanya, bisnis telur asin 'Arif Jaya' gagal berjaya.

***Lain kali kalo bisnis telur asin pake nama 'Ghofur Jaya' aja pak, mungkin lebih hoki...***

Selain tangguh di outdoor, mereka juga perkasa di indoor. Di rumah, semua pekerjaan tetap bisa mereka kerjakan meski baru saja pulang berpanas2 dari pasar. Mulai dari menyapu, ngepel, mencuci baju, kora2 hingga memasak. Mulai dari perbaiki kursi goyang, servis motor, lemari hingga berburu tikus.

Jadi, jauh sebelum Dahlan Iskan jadi direktur PLN ato menteri BUMN, falsafah hidup mereka adalah kerja, kerja, kerja!

Umur mereka kini sudah bertambah banyak, tapi semangat mereka masih sangat kuat. Uban mereka sudah mulai tumbuh, tapi jiwa mereka masih sangat membara.

Mereka bekerja bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk anak2nya. Semua mereka kerahkan untuk anak2nya. Bahkan ketika semua anak2nya telah berkeluarga, di otak mereka tetap anak, anak, anak!

Mungkin karena itu semua, terkadang aku malu pada diri sendiri kalo terlalu mudah mengeluh. Karena aku tahu, apa yg aku lakukan sama sekali tidak sebanding dengan apa yg telah mereka lakukan.

Demikian kebanggaanku.

Subyektif? Biarin!

Suatu saat nanti, mudah2an anak2ku nanti juga akan menuliskan tentang kebanggaannya kepada orang tuanya.