Jawa pos, memo, surya!

Dulu pom bensin ini gak begini, gak semodern ini. Pegawainya juga gak sebanyak ini. Apalagi bangunannya, gak sebagus ini. Dulu cuma 3 pompa jadul, sekarang ada 8 pompa, modern semua.

Pagi itu, kira2 20 tahun yg lalu, aku sebenarnya berniat jualan di perempatan Kutai. Pas lewat pom bensin depan bioskop Oscar, jalan Mayjend Sungkono, aku lihat kok tidak ada yg jualan di situ. Aku tengok kanan kiri untuk memastikan. Ternyata benar, tidak ada yg jualan koran disitu. Wah kesempatan...

Aku beranikan diri masuk pom bensin. Gak dinyana, kok ya banyak yg beli. Aku taruh sepedaku di bawah pohon keres, di pojok belakang pom bensin. Aku jualan lagi. Lho lha kok laris lagi. Koranku ludes, padahal belum jam 7.





Aku pulang dengan senyum menganga karena koranku habis terjual. Jam 8-an aku sudah bisa setor ke Soleman, agenku.

Besoknya, aku pede ambil koran lebih banyak dari kemarin. Jawa pos 20 biji, surya 15 biji dan memorandum 15 biji. Biasanya aku gak pernah ambil kompas, tapi kali ini aku beranikan ambil kompas 5 biji. Mudah2an laku. Soleman tersenyum bangga melihat kinerjaku.

Kukayuh sepedaku menuju pom bensin depan bioskop Oscar. Kuparkir sepedaku di bawah pohon keres. Lagi2 koranku terjual dengan mudah. Jam 7-an koran2ku udah habis terjual. Senyumku menganga lagi. "Gampang betul jualan disini", pikirku.

Begitulah aku berjualan di pom bensin itu sampai beberapa minggu. Aku sudah merasa pom bensin itu adalah wilayahku. He..he..

Hingga suatu hari, kira2 jam 5-an aku nyampe di pom bensin itu, kulihat sudah ada orang yg jualan di sana. Dia datang lebih pagi, membawa tumpukan koran yg jauh lebih banyak dari punyaku. Dia juga berseragam rompi biru. Sepertinya dia loper resmi, karena yg gak resmi kayak aku begini: pake kaos oblong, celana pendek, dan sandal jepit.

Awalnya aku cuek saja. Aku tetap jualan di pom bagian sepeda motor. Beberapa koran laku terjual. Tidak lama kemudian, 2 orang laki2 yg mendatangiku. Sepertinya mereka tidak senang aku jualan di situ.

"Koen lapo dodolan nang kene? Iki nggonku cuk!" katanya.

"Aku disi'an dodolan nang kene lek" kataku lugu.

"Disi'an matamu picek. Iki nggonku cuk! Aku wes suwe dodol nang kene" katanya yg satunya, lebih galak.

Aku hanya terdiam, sambil menggerutu dalam hati. Sentot, petugas pom bensin yang kuku jempolnya panjang, mendatangiku: "iyo le, iki nggonne wong iku. Wingi wong iku mari loro, gak iso dodol"

Perkataan Sentot itu membuat aku semakin tak berdaya. Aku merasa tidak punya dukungan politik. Sambil nelongso aku tinggalkan pom bensin itu, membawa tumpukan koran yg belum laku terjual. Aku harus cari tempat lain.

Aku mengayuh sepedaku di perempatan Kutai. Susah sekali jualan di situ. Panas dan banyak saingan. Sampe jam 10an, koranku masih banyak yg belum terjual. Aku pulang dengan kesedihan yg menganga.

Besoknya aku tidak berani ambil koran banyak2. Soleman hanya terhenyak, bertanya2 dalam hati kenapa aku gak mengambil sebanyak kemarin...

Aku tidak bisa lagi jualan di pom bensin depan biskop Oscar itu. Aku harus jualan keliling dari kampung ke kampung. Seperti dulu lagi.

"Koran jawa pos, memo, surya!"

Sekarang, tiap kali beli bensin di situ, aku teringat pohon keres yang dulu ada di pojok belakang tempat aku biasa naruh sepeda pancalku. Kini sudah tidak ada lagi. Jadi toilet.

Komentar