Pak Sby
Pak Sby,
Saya tidak mengerti kenapa bapak kelihatan ragu2
untuk segera memutuskan, meskipun telah banyak argumentasi2 dan data2 ilmiah yg
disiapkan oleh kabinet, partai koalisi dan para staf ahli bapak.
Meskipun berulang kali bapak bermain2 dengan
wacana kenaikan harga BBM.
Meskipun berulang kali bapak mengeluh tentang
harga BBM.
Bapak terlalu berhitung, atau menunggu
waktu yg benar2 pas.
Meskipun bapak tidak punya pilihan lain, kecuali
menaikkannya, bapak kelihatan terlalu berhati2. Dasar politik!
Pak Sby,
Bangsa ini telah terlanjur terikat dengan jerat2
kapitalisme dunia sehingga banyak hal di negeri ini lebih diatur oleh asing,
daripada oleh bapak.
Tanggung untuk tidak tunduk dengan jerat2
kapitalisme.
Tapi, terlalu naif menyalah2kan bapak, sedangkan
semua tahu bahwa tidak banyak yg bisa bapak lakukan di tengah jeratan2 itu.
Sudah terlalu lama bangsa ini tidak berdaulat
pada banyak komoditas2 penting, yg menyangkut hajat hidup anak bangsa.
Air, tanah, migas dan tambang. Bahkan urusan
bawang putih-pun bangsa ini tidak pernah benar2 berdaulat.
Pak Sby,
Saya tahu, Bapak hanya melanjutkan dan
meneruskan ketidak-berdaulat-an ini.
Saya juga tahu, bapak tidak berdaya dengan
keterlanjuran itu.
Saya juga tahu, bangsa ini terlalu sibuk
mencari2 alasan pembenarnya.
Sementara bapak kehilangan kedaulatan, ribuan
orang2 berduit di negeri ini secara bersamaan kehilangan rasa solidaritasnya.
Mereka hidup di dunia yg indah, menikmati
fasilitas2 yg mestinya tidak mereka nikmati: BBM bersubsidi.
Semakin banyak orang yg merasa pantas membeli
BBM bersubsidi, meski memiliki pendapatan yg berlebih.
Jutaan liter premium bersubsidi membasahi
tangki2 innova, CRV, terano, bahkan alphard. Mulai CBR, ninja, sampai ducati.
Uang yg seharusnya mereka gunakan untuk beli BBM
non subsidi, mereka gunakan untuk membeli mobil2 baru dan motor2 baru.
Macet dimana2. Macet dimana2. Macet dimana2.
Pak Sby,
Naikkan. Naikkan. Naikkan saja.
Terserah bapak!
Komentar
Posting Komentar